huru-hara

1K 146 9
                                    

Sedari awal aku udah kasih tags adult di cerita ini yang menandakan mungkin ada scene iya-iya nya. jadi yang merasa belum legal jangan memaksa, ku colok mata kau.










Pagi ini matahari nampak malu-malu mengeluarkan sinarnya hingga wilayah Netral kini terlihat sendu tanpa sinar Surya. Rakyat wilayah tersebut sekarang nampak jarang terlihat di luar rumah. Segala aktifitas perdagangan, kesehatan bahkan aktifitas para petani pun seolah-olah di hentikan semenjak pemberontakan terjadi. Membuat desa-desa sekitar terlihat lebih sunyi dari biasanya.

Mereka rakyat Wilayah Netral terutama perempuan dan anak-anak sekarang hampir tidak pernah meninggalkan rumah mereka demi keselamatan. Bukan rahasia umum lagi jika penculikan wanita dan anak-anak kini menjadi momok menakutkan rakyat Wilayah Netral.

Beberapa hari lalu sempat terjadi demo besar-besaran yang di lakukan oleh para laki-laki baik muda maupun tua tentang keadaan wilayah Netral yang semakin hari semakin buruk dan tidak l allayak huni m. Demo tersebut terjadi di area barat daya tepatnya Pigalt. Pigalt adalah tempat khusus para bangsawan yang di tunjuk langsung oleh kekaisaran masing-masing menjadi penanggung jawab  Wilayah Netral, namun naas bukannya mendapatkan kabar baik orasi mereka malah di anggap bualan semata juga di akhiri oleh kegiatan anarkis yang para bangsawan lakukan.

Korban jiwa berjumlah dua puluh tujuh orang, bukan hal yang sedikit dan hal tersebut memicu kemarahan rakyat Wilayah Netral semakin tidak terkendali.

"Kau sudah memberikan surat yang ku kirim pada Vernon?" Tanya Brian dengan nada dingin.

Ragana yang berdiri di belakang Brian mengangguk meskipun jelas Brian tidak akan menangkap gerakan tersebut. "Sudah. Jawabannya tetap sama, Tuan Marquess Vernon mengatakan para bala bantuan akan sampai esok hari. Tidak bisa di percepat atau sebaliknya."

Tangan Brian mengepal. Dengan gerakan kasar kepalan tangan itu menghantam meja, mencipta suara gebrakan yang mampu membuat Ragana berjingkrak kaget. "Sial rasanya aku ingin membunuh mereka tanpa sisa." Geram Brian.

Ragana hanya diam, tidak berusaha menimpali.

"Dua puluh tujuh. Dua puluh tujuh korban jiwa." Brian terkekeh pelan, suara tawanya mampu menggema di ruangan senyap ini.

"Dua puluh laki-laki setengah baya, tujuh remaja laki-laki. Ada dua puluh istri dan anak yang menangisi kepergian suami serta ayah mereka. Ada tujuh ibu yang berduka atas kepergian anak tercinta mereka." Brian bangkit meraih salah satu patung keramik berharga fantastis di meja kerjanya. "Menurutmu apa hal yang cocok untuk membayar tangis dan duka mereka?"

Ragana terdiam. Karena jawaban apapun yang dia lontarkan pasti bisa memicu perasaan emosional Brian.

"Tentu saja nyawa dibalas nyawa bukan?" Brian menjawab pertanyaannya sendiri.

Prakkkk!

Tangannya ter-ayun bergerak melempar patung keramik itu ke lantai. "Tidak ada yang bisa menyusun patung hancur yang ku lempar barusan. Begitupun mereka, tidak ada rasa yang bisa membalas rasa sakit selain kematian."

"Tuan Duke, jika anda lupa Kaisar Vijendra sudah membahas tentang ini. Anda dilarang membunuh karena bisa saja Negri Sebrang---"

"Aku tidak perduli." Brian memotong ucapan Ragana dengan mata yang kini menatap Ragana tajam. "Aku tidak perduli jika kakakku melarangku membunuh pelaku. Aku tidak perduli jika Negri Sebrang muak. Darah di balas darah. Dan kau tahu itu."

Ragana menghela nafas pelan. Berdeham untuk melegakan tenggorokan yang tiba-tiba terasa sangat kering. Benar kata hatinya barusan, jika Brian dalam kondisi sentimentil seperti ini sekarang, kritik atau saran apapun yang dia lampirkan tidak akan di dengar dan disetujui.

PetrichorWhere stories live. Discover now