langit malam.

2.7K 264 3
                                    

Gladiola membuka mata secara perlahan. Hal pertama yang dia rasakan adalah tubuhnya luar biasa lemas. Dia ingat betul terakhir dia pingsan di pelukan Brian berakhir masuk ke dalam ingatan masa lalu milik Gladiola asli. Dan apakah saat ini dia sudah kembali ke dunia nyata?

Sepi. Itu yang Gladiola rasakan. Bahkan helaan nafasnya yang pelan pun terdengar jelas.

Gladiola menatap ke atas dengan pandangan menerawang. Entah mengapa sesak memenuhi dadanya saat ini.

"Aku tidak tahu apa alasanmu menjauh dari adik yang kau sayang. Kemana kau mengirimnya? Kau membuatku pusing." Lirih Gladiola dengan mata terpejam dan tanpa sadar cairan bening mengalir dari matanya yang tertutup.

Tangannya meraup wajah dengan kasar untuk meluapkan emosi yang kini dia rasakan. Bahkan Gladiola berteriak tanpa suara untuk melegakan belenggu yang mengitari dadanya namun hasilnya nihil, dia tetap merasa sesak dan lelah secara bersamaan.

"Bagaimana rasanya hidup tenang? Kenapa rasanya setiap saat dalam kehidupanku kali ini aku merasa ketakutan. Ini sungguh memuakan, merepotkan dan... melelahkan."

Tiba-tiba Gladiola mengingat nasihat dari ibunya dulu. "Ibu pernah mendengar seseorang berkata, kita tidak akan merasa bahagia jika kita berusaha untuk bahagia. Jalani semuanya dengan baik, kendalikan apa yang bisa kendalikan dan berusaha belajar apa itu ikhlas."

"Lelah, gagal, bahagia, sedih, semangat adalah hal-hal dalam hidup yang tidak bisa dipisahkan. Untuk hidup lebih baik dari kemarin dan penuh dengan keseimbangan hal buruk dan hal baik harus ada di setiap sisi kehidupan kita."

Saat itu sang ibu membawa Gladiola alias Amaryllis ke dalam sebuah pelukan hangat, pelukan yang dia rindukan. Elusan rambut yang menyenangkan serta suasana hangat pada sore hari saat itu benar-benar membuatnya ingin kembali.

Gladiola membuka mata, kemudian matanya menatap ke arah jendela yang ternyata menampilkan langit malam. Dengan tubuh lemas Gladiola berusaha bangkit. Meskipun harus berjalan dengan berpegangan pada dinding Gladiola tetap memaksakan kaki gemetar nya menuju area balkon kamar.

Setelah sampai di balkon Gladiola mendudukkan dirinya di bangku yang tersedia. Dengan angin malam yang menampar tubuhnya serta telapak kaki yang merasa rambatan dingin dari lantai marmer Gladiola menatap langit malam dengan tatapan hampa. "Ini semua bener-bener membuatku gila." Lirihnya pelan.

Malam ini bulan benar-benar bulat sempurna. Langit terlihat lebih cerah dari biasanya apalagi kini awan malam itu di hiasi banyak bintang di sekelilingnya membuat Gladiola sedikit terhibur.

Gladiola berusaha mencari ketenangan dengan tubuh bersandar di sandaran kursi seraya menatap langit hingga tanpa sadar dirinya terjun ke dalam lamunan.

"Kau memaksakan kaki kecil gemetar itu bergerak menuju balkon hanya untuk melihat bintang?" Sebuah suara menarik Gladiola dalam lamunan, terlihat sosok tinggi nan tampan sedang berdiri di depan pintu balkon.

Saat pandangan mereka bertemu Brian bisa melihat jejak air mata di wajah Gladiola. Jangan lupakan mata dan hidung yang memerah hal itu membuatnya lagi-lagi berdecak. "Ingatan apa yang kau lihat hari ini?"

Gladiola mengerti pertanyaan yang Brian maksud namun dirinya lebih memilih bungkam dan mengalihkan pandangan dengan kembali menatap langit.

"Kau mengabaikan ku?" Suara Brian kembali terdengar.

Gladiola hanya menggeleng.

Brian berjalan menuju Gladiola tanpa aba-aba dia meraih tubuh Gladiola dalam pelukan. "Kau bisa menangis semaumu, tapi ingat harus menangis di pelukan ku tidak boleh sendirian." Brian berujar tegas.

PetrichorWhere stories live. Discover now