mata tajam

1K 148 25
                                    

Bunyi gesekan antara roda dan bebatuan jalanan menjadi lagu pengantar kepulangan mereka. Tidak ada yang terganggu oleh suara itu. Mereka benar-benar saling bungkam dalam waktu yang lama.

Jika Brian dan Ragana, itu memang sudah tabiat mereka yang akan diam seperti patung saat tidak ada obrolan penting diantara keduanya.

Beda kasus jika Brian bersama Gladiola, membicarakan kenapa bumi bulat atau bahkan kenapa jagung berwarna kuning pun Brian akan sangat sanggup meladeninya.

Nava sendiri sedari tadi terus mengerutkan dahi, merasa tidak nyaman dan aneh. Sebab kedua laki-laki ini lebih hanya diam dalam waktu yang lama ketimbang menggodanya, melakukan pelecehan atau yang lebih parah menjamah errrr, tubuhnya?

Dia dijual  kemudian di beli oleh orang ini untuk itu bukan? Pemuas nafsu.

Tapi ketimbang seperti laki-laki berhidung belang kurang belaian. Kedua laki-laki di depannya malah bersikap acuh tidak acuh, padahal dirinya kini sudah memakai pakaian yang cukup minim.

Aku tidak tahu harus bersyukur atau  siaga. Jika mereka membeli ku bukan  untuk pemuas nafsu, maka mereka akan melakukan hal lain yang mungkin bisa membahayakan nyawaku.

Kereta kuda Brian mulai berjalan dengan pelan saat rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka di wilayah netral mulai terlihat. Rumah besar yang cukup mewah sebab status penyamaran mereka adalah saudagar kaya raya yang mana mereka harus benar-benar mendalami peran tersebut.

Beberapa saat kemudian roda kereta berhenti berputar, di susul ringkikan kuda pertanda bahwa mereka sudah sampai di kediaman.

Pintu terbuka, menampakan Brian yang baru saja keluar dari kereta kuda duluan di susul Ragana lalu Nava.

"Kita mulai malam ini juga." Ujar Brian tanpa menoleh lalu berjalan masuk menuju kamarnya.

"Baiklah." Jawab Ragana seraya mengehentikan langkah membuat Nava yang berada di belakangnya ikut berhenti.

Saat merasa tidak mendapat pergerakan lagi dari Nava, Ragana menoleh mendapati Nava yang saat ini juga sedang menatapnya.

"Ada apa Tuan?" Tanya Nava bingung di tatap seperti itu.

"Ikut aku, kamar." Ujar Ragana lalu kembali berjalan menuju koridor sebelah kanan.

Jantung Nava berdetak dengan kencang, benar-benar rasanya seperti ada bom yang siap meledak dalam dirinya saat Ragana mengatakan untuk mengikuti dirinya lalu apa katanya? Kamar? Maksudnya mereka akan melakukan kegiatan dewasa di kamar?

Semua laki-laki sama saja, pikir Nava. Dia kira kedua laki-laki ini berbeda dari yang lainnya. Nyatanya sama saja, sama-sama mata keranjang.

Mereka naik ke lantai tiga kemudian berbelok ke arah kiri, terus berjalan melewati beberapa ruangan hingga akhirnya sampai di kamar paling ujung.

"Ini kamarmu."  Ujar Ragana.

"Baiklah." Jawab Nava pelan.

"Bersihkan dirimu. Setelahnya ada yang ingin ku bicarakan. mengerti?" Ragana menatap Nava serius.

"M--mengerti." Nava menganggukkan kepalanya beberapa kali.

Setelah itu Ragana meninggalkan Nava seorang diri. Tujuan Ragana adalah kamar Brian. Ragana kini kembali menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelahnya berbelok ke arah kanan.

Sebelum masuk ke ruangan yang berstatus sebagai kamar Brian, Ragana mengetuknya terlebih dahulu. "Tuan Duke, saya Ragana."

Saat mendengar seruan yang menyuruhnya masuk baru Ragana berani membuka pintu tersebut dan masuk.

PetrichorWhere stories live. Discover now