say my name

799 111 31
                                    

Gladiola mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian menghembuskan nafas gusar saat sadar jika kini dia sendirian di ruang kamar.

Brian dan Vernon pergi untuk membicarakan hal yang tidak ingin Gladiola tahu. Sedangkan Kara pamit membuat obat. Awalnya dia sudah merengek pada Kara agar tidak meninggalkannya tapi kata berujar tegas bahwa dia harus cepat membuat obat agar Gladiola juga bisa cepat mengonsumsinya.

Ini sudah lewat dari dua hari setelah kembali atau sadarnya Gladiola. Gadis itu belum menceritakan apapun tentang hal dia alami. Brian dan yang lainpun tidak bertanya memberi Gladiola waktu sampai gadis itu siap menceritakan apapun yang dia alami baik saat demam maupun saat penculikan.

Mendadak Gladiola kembali merinding saat mengingat tentang hantu Gladiola dulu.

Bisa-bisanya dia nampakin diri dengan kondisinya yang gak banget itu. Batin gladiola menggerutu.

"Melamun lagi?"

"AAAAAA!!!" Bahu Gladiola terangkat ke atas karena cemas campur terkejut saat mendengar suara tepat di samping telinganya.

Sedangkan Brian pelaku utama malah tertawa hingga suara tawanya memenuhi seisi ruangan.

"Hahahaha! Reaksinya lucu sekali." Tawanya masih juga belum selesai.

Gladiola yang kelewat kesal akhirnya melempar geplak-an di bahu Brian berkali-kali. "Ihh! Bisa tidak sih jangan mengejutkan?!"

"Habisnya kau terlalu takut sih." Komentar Brian seraya merapihkan rambut Gladiola yang agak berantakan.

"Kau kan tidak tahu isi mimpiku! Jangan menilai sesuatu hanya dari sudut pandang mu ya pangeran!" Gladiola menukas sinis. "Lagian siapa juga yang mau hidup dalam ketakutan?" Lanjutnya dengan suara lirih.

Brian yang merasa Gladiola kali ini benar-benar marah mengehentikan tawanya. Tangan Brian bergerak menarik Gladiola yang masih duduk di atas ranjang untuk menghadapnya.

Gladiola menolak, gadis itu berusaha melepas tangan Brian yang memegang bahunya pelan.

"Hei?" Ujar Brian memanggil Gladiola. "Ada apa? Kau betulan marah? Kalau begitu maaf ya karena gurauan ku membuatmu takut."

Gladiola mengangguk. "Aku mau sendiri." Pintanya lagi.

"Tunggu kau menangis?" Brian kali ini memaksa Gladiola untuk menatapnya. "Maaf." Ujar Brian benar-benar menyesal saat matanya melihat Gladiola menangis.

Gladiola mengangguk tanpa menjawab, dan Brian langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

"Apa sih aku tidak nangis kok! Jangan peluk-peluk aku!" Gladiola yang gengsi berusaha menjauhkan Brian dengan mendorong kuat pundak laki-laki itu.

Brian yang tidak ingin membuat Gladiola semakin marah akhirnya menurut dan mengurai pelukan antara mereka.

"Jadi kenapa matamu berair?" Tanya Brian seraya menahan senyum.

"Kelilipan." Jawab Gladiola cuek seraya membuang muka, enggan melihat wajah tengil Brian.

"Hmm, sepertinya aku harus mencabut jendela-jendela kamar ini dan menutupnya dengan tembok. Anginnya sangat menggangu sampai matamu kelilipan begitu."

Gladiola yang mendengar itu menganga tidak percaya. "Y--ya sudah sana bicara para Vernon, dia kan yang punya tempat ini." Tantang Gladiola.

"Baiklah, jangan protes jika besok saat kau bangun kamar ini sudah tidak memiliki jendela." Brian mengangguk beberapa kali.

"Kau benar-benar ingin mencopot jendela-jendela itu?" Gladiola memastikan. "Betulan, tidak bohong?"

"Iya." Jawab Brian singkat.

PetrichorWhere stories live. Discover now