10 Ada Penyesalan

7 3 2
                                    

Hasil pemotretan untuk iklan kampus sudah dipublikasi. Seantero universitas langsung geger. Forum mahasiswa dipenuhi dengan diskusi mengenai Natasha dan Alan yang digadang-gadang menjadi pasangan yang klop. Maka dari itulah Pak Rektor menjadi sangat puas akan keputusannya menerima ide Tiara. Keduanya berhasil menjadi ikon hanya dalam sekejap. Padahal itu baru satu foto.

Masih ada agenda lanjutan dalam rangkaian promosi universitas. Yang selanjutnya adalah memproduksi video tur kampus. Natasha dan Alan sudah berlatih dialog bersama. Tentu saja Tiara harus ada di sana karena ialah satu-satunya yang bisa menjadi penengah saat mereka terlalu sering berdebat. Ketika harinya tiba, keduanya benar-benar sudah bertransformasi menjadi host kawakan.

Kurang lebih sudah satu jam lamanya mereka berkeliling kampus, mengambil video di beberapa lokasi yang sudah ditentukan. Masih ada satu tempat terakhir, yaitu di lapangan basket.

"Kalian istirahat dulu aja. Soalnya kameramennya mau ke toilet dulu," Rita memberitahu saat mereka sampai di lapangan yang cukup sepi itu. "Atau kalian juga mau ke toilet? Soalnya aku kayanya juga."

Natasha dan Alan sama-sama menggeleng.

"Oh ya udah kalau gitu." Rita berbalik dan berjalan ke gedung terdekat dengan toilet.

Sementara Alan duduk di bangku, Natasha justru berjalan menuju ke tengah lapangan. Di sana ada bola basket yang ditinggalkan. Ia mengambil dan kemudian memainkannya. Dengan lihai ia melemparkan bola itu yang langsung masuk ke ring dengan mulus.

Itu bukan pemandangan yang baru bagi Alan. Ia sudah pernah melihatnya beraksi waktu itu. Mau berapa kalipun melihat, mungkin ia akan tetap kagum. Pasalnya gadis itu menembak three point dalam satu kali coba.

"Lu penasaran ngga kenapa gua bisa gampang banget score three point?" Tiba-tiba Natasha berpaling ke arah Alan sambil men-drible bola.

"Engga sih."

Natasha mendongkol tapi ia malas untuk berdebat. Ia sudah capek berbicara dan berkeliling kampus. "Oh ya? Padahal muka lu kek kagum banget gitu. Whatever," sahutnya cuek. Ia kembali bermain dengan bola itu dan mencetak skor dari berbagai sisi.

Bermain basket adalah hal yang sangat Natasha nikmati sejak kecil. Ia menghabiskan banyak waktu bermain bersama almarhum papanya kala itu. Selama enam tahun sejak masa SMP sampai SMA, ia berlama-lama menyendiri sambil bermain basket di lapangan pada hari kematian orang tuanya. Yang ia lakukan hanyalah melempar bola ke ring. Setiap bola yang masuk dijadikannya sebuah harapan bahwa ia akan sukses suatu kali dan bisa memberi kehidupan yang layak untuk adik dan neneknya.

Tanpa sadar Natasha semakin ahli bermain. Pelatih basket di SMA melihat kemampuannya dan memutuskan untuk memasukkannya ke tim basket wanita. Awalnya ia menolak karena ada biaya yang perlu dikeluarkan dan ia jelas tak punya uang. Namun sang pelatih tidak ingin menyia-nyiakan potensinya dengan membebaskannya dari biaya apapun. Terbukti ia menjadi MVP di timnya dan hampir dalam setiap kompetisi membawa kemenangan bagi mereka.

Tengah asik bermain, bola yang ada di tangan Natasha direbut oleh Alan tanpa peringatan. "Coba rebut dari aku," ia kemudian men-drible bola menjauhi gadis itu.

"Nantangin nih ceritanya? Ngga inget kalau Jordan aja gua kalahin?" Natasha menggulung lengannya lebih tinggi.

Alan tersenyum dengan santai. "Itu kan Jordan. Kalau aku, kamu belum tahu kan?" Ia benar-benar menantang.

Natasha paling suka mendapat tantangan seperti ini. Ia langsung bersemangat. Dengan lihai ia menghadang Alan dan berusaha merebut kembali bola itu. Pada percobaan pertama, ia tidak berhasil. Tetapi ia tidak menyerah dan akhirnya berhasil melakukanya pada percobaan ketiga.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now