39 Pencemaran Nama Baik

5 3 2
                                    

"Ini apa, Lan?" Natasha mengulangi pertanyaannya.

Alan tak mengerti harus menjawab apa. Ia merasa kebingungan. "Sejujurnya aku juga ngga tahu. Yang jelas ini bukan aku," katanya membela diri.

"Minggir, Lan. Aku mau cek." Natasha memberikan instruksi. Ia menggeser kekasihnya dari tempatnya duduk. "Kalau ini beneran editan, aku pasti bisa buktiin." Ia memakai kemampuan desain visualnya untuk memeriksa file gambar itu.

Alan pun bertukar tempat dengan kekasihnya.

Dengan beberapa langkah, Natasha mencari jejak yang bisa menuntunnya pada celah suntingan. Dulu ia pernah melakukannya untuk membuktikan plagiasi terhadap teman SMA-nya yang merupakan seorang novelis. Seharusnya ini merupakan hal yang mudah pula.

"Oke. Ternyata yang ngedit kurang jago. Udah ketemu bukti kalau foto ini hasil Photoshop," beritahu Natasha. Ia menunjukkan pada Alan bekas pemotongan di area leher. Kepala aslinya digantikan dengan kepala Alan. "Kirim bukti ini ke tim kamu supaya mereka bisa counteract masalah ini. Terus, kita bisa minta pendapat Tiara untuk cek hukum tentang pencemaran nama baik."

Alan bernapas lega. Ia tak mau ada tambahan beban hidup lagi, terutama jika hal itu berpotensi menjauhkannya dari Natasha. Sesuai instruksi, ia mengirimkan bukti tersebut pada manajer humas.

"Kamu ada ide siapa yang kira-kira ngelakuin ini?" Natasha bertanya. Otaknya yang terlatih berpikir logis itu mulai bekerja.

"Aku ngga yakin siapa. Musuhku cukup banyak sekarang," jawab Alan dengan sebuah gerakan bahu.

Natasha menopang kepalanya pada kepalan tangannya yang bertumpu di atas meja. Ia memandang foto editan itu. "Menurut aku ini bukan musuh kamu. Ini ulah Sylvia sendiri," ujarnya.

"Kenapa kamu bilang gitu? Bukannya kamu sendiri tahu kalau Sylvia itu sahabatnya Kezia dan dia udah bantu aku banyak?" Alan berusaha menetralkan situasi lebih dulu agar tidak ada spekulasi yang salah.

Pandangan mata Natasha mengarah pada Alan. Kini badannya menegak dan tangannya menempel di meja. "Kamu pernah bilang kalau cowo punya insting waktu cowo lain berusaha ngedeketin cewenya kan? Cewe juga, Lan," sahutnya.

"Oke. Coba jelasin teorimu," pinta Alan. Ia terbuka untuk mendengarkan.

Natasha mengangguk sekali. "Sebetulnya aku bukan cewe yang cemburu buta, Lan. Memang ada kalanya aku kesel waktu ada cewe yang ganjen deketin kamu, tapi sebatas itu," ujarnya memulai. "Sylvia itu... lain. Di awal dia jelas nunjukin suka sama kamu kan? Tapi habis kamu tolak, dia pakai alibi kalau dia tes kamu. Dia tahu kalau pendekatan ke kamu harus beda dari cowo lain. Entah gimana caranya, sekarang dia punya akses untuk masuk ke lingkaranmu kan?"

Alan memproses pendapat gadis itu dengan seksama. Ia tidak mau gegabah. Pasalnya Sylvia sudah memakai banyak koneksinya untuk bantu mempromosikan bisnisnya. Bisa jadi salah menuduh akan membawa kesialan nantinya.

"Kalau kamu ngga percaya, coba kita telaah. Selama ini, dia pernah goda kamu secara verbal lagi ngga?" Natasha mengajukan pertanyaan investigasi pertama. "Inget baik-baik dan jawab jujur."

Alan mengingat-ingat. "Sejauh ini tingkahnya normal," katanya.

"Gimana cara dia berpakaian di kantor?"

"Normal juga. Ngga berlebihan."

"Kalau yang kaya tadi?" Natasha merujuk pada pakaian minim di panggilan video barusan dengan gadis itu.

"Baru sekali ini tadi."

"Dia pernah curi-curi sentuh kamu ngga?"

"Hmm... Aku ngga merasa sih." Alan menggaruk-garuk kepalanya tak yakin.

Pacarku Op(p)a SahabatkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang