33 Balasan Untuk Natasha

5 3 2
                                    

Menjadi juara pertama dalam kompetisi pidato Bahasa Inggris se-Bali membawa Natasha ke tingkat yang lebih tinggi. Ia harus meneruskan perjalanannya untuk bersaing melawan pemenang dari seluruh provinsi di Indonesia. Maka dari itulah ia perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih.

Seminggu tiga kali, Natasha diberikan materi-materi berbeda dan berbobot oleh dosen pembimbingnya. Dengan bantuan Bobby juga, ia terus mengasah kemampuannya dalam memakai teknik analisa kasus dan elaborasi ide dengan cepat.

Di sisi lain, Alan semakin disibukkan dengan kegiatan di kantornya. Dengan tim yang tersisa, ia menyusun strategi baru untuk memulai kembali. Pasalnya kehilangan investor berimbas pada kehilangan beberapa klien tetap juga. Semua hal ini sungguh menguras otak dan tenaganya.

Dengan situasi seperti ini, jarak di antara keduanya perlahan tercipta tanpa disadari. Memang Alan atau Natasha saling bergantian menginisiasi komunikasi setiap kali ada waktu kosong. Hanya saja perubahan tak terelakkan mulai terasa dan mereka mengakuinya.

"Nat, ini perasaanku aja atau engga ya? Aku ngerasa aneh sekarang ketemu dan bisa spend time sama kamu agak lamaan cuman di hari Sabtu-Minggu loh." Alan menggenggam tangan gadis itu sambil memandangnya.

Mata Natasha melirik ke atas, berpikir. "Hmm, aku ngga yakin. Mungkin karena kita terbiasa sering ketemu. Terus pas ada kesibukan kaya gini, kita jadi ngerasa jauh. Gitu ngga sih?" ucapnya menganalisa.

"Kamu sih, nolak tinggal di rumahku. Kita jadi jarang ketemu." Alan mengungkit kembali penolakan yang diterimanya beberapa minggu lalu.

Setelah mendengar tentang kos Natasha, Alan sudah menawarkan untuk tinggal bersamanya saja. Tetapi gadis itu bersikukuh untuk tinggal di tempat terpisah.

"Lan, jangan kecewa tentang itu terus dong," tegur Natasha. Ia menghela napas panjang. "Dengan aku tinggal di tempat lain, kita sebenernya sama aja lagi menguji perasaan dan hubungan kita loh."

Alan mengernyit. "Gimana?"

"Salah satunya ini. Kalau kita ada kesibukan masing-masing, kita masih bisa ngga sih berusaha make time untuk pasangan kita?" Natasha menyampaikan maksudnya. "Cinta itu harus teruji untuk bisa bertahan seterusnya kan?"

Dengan tarikan napas yang panjang, Alan menyahut, "Aku ngerti. Kamu emang bener. Tapi rasanya tetep aja aneh."

"Itu karena kamu ngga siap sama perubahan. Wajar sih. Tapi makin lama pasti nanti makin terbiasa."

"Terbiasa jauh? Ngga mau lah."

Natasha terkekeh. "Engga, bukan gitu. Maksudnya, terbiasa untuk selalu punya waktu buat pasangan, sesibuk apapun kita," koreksinya.

"Ah, iya, iya. Kalau itu baru bisa diterima." Alan tertawa kecil. "Ih, pacar aku kenapa dewasa banget sih ngomongnya?"

"Dari dulu kali. Kamunya aja yang di awal nutup mata." Natasha menjulurkan lidahnya pada pemuda itu.

Nada dering HP Natasha terdengar. Layarnya menunjukkan bahwa ada panggilan masuk dari Bobby. Ia pun menjawabnya.

Alan memperhatikan pacarnya yang sedang berbicara di telepon itu, tapi tidak benar-benar mendengarkan isi percakapannya. Pikirannya melayang, membayangkan sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi, yaitu semakin besarnya jarak di antara keduanya.

"Iya, Kak. Ngerti kok. Kamu aja lah yang bilang nanti." Natasha tertawa dengan renyah dengan lawan bicaranya.

Detik itulah Alan merasa cemburu. Sudah beberapa kali ia berusaha menepis perasaan itu, tetapi dengan jarak yang ada di antara mereka, semakin besar pula perasaan itu bertumbuh. Ia tidak senang ketika Natasha terlihat terlalu nyaman mengobrol dengan pemuda lain, yang secara kasat mata memang tertarik padanya.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now