11 Tuntutan dan Konsekuensi

7 3 2
                                    

"Ya ampun. Ini kenapa bisa jadi kaya gini sih?" Baru datang Tiara sudah mengomel seperti ibu-ibu. "Lagi enak-enak mandi bubble, malah terima kabar nakutin gini." Ia memperhatikan kaki Alan yang tampak memerah dan mulai sedikit menggelap di sekelilingnya.

"Udah gede mandi bubble," komentar Alan tapi kemudian melirik pada Natasha. "Emangnya kamu bilang apa sama Tiara? Lebay ya?"

"Engga. Cuman bilang kalau gua tendang kaki lu yang pernah patah."

"Astaga!" potong Tiara. "Kamu nendang kakinya Alan sampai patah?" Ia terkesiap, kedua telapak tangannya menutupi mulutnya.

Natasha mencubit pipi Tiara. "Tolong telinganya dipake yang bener ya. Gua ngga ngomong gitu," protesnya.

Tiara terkekeh. "Tapi ini beneran sakit apa boongan sih? Kok kayanya Alan biasa aja? Jangan-jangan ini makeup doang. Aku lagi di-prank ya?" Ia malah mencurigai kedua orang yang sudah pernah mengerjainya beberapa kali.

"Beneran, Ra. Tar gua jelasin masalahnya. Sekarang kita bawa Alan ke rumah sakit. Takutnya kenapa-kenapa malah tar gua disuruh ganti rugi," tukas Natasha secara terang-terangan, menyatakan keberatannya memberi kompensasi di depan korbannya.

"Ngga perlu sampai ganti rugi. Tapi kan ini udah pasti aku bakalan harus istirahat jalan beberapa hari. Jadi selama itu kamu mesti tanggung jawab ngurusin aku. Beliin aku makan atau minum lah, anterin aku ke sana sini lah, pijetin aku lah. Pokoknya apa yang aku perlu. Itu cukup kok." Alan memanfaatkan momen ini, seakan lupa bahwa ia sebenarnya kesakitan.

Natasha mengangkat tinjunya. "Kalau lagi ngga sakit udah gua bogem lu," ucapnya. "Lu pikir gua babu?"

Tiara mendesah kesal. "Kalian ini. Kerjaan kok bikin masalah melulu. Udah lah. Ayo kita ke rumah sakit," katanya. "Mana kunci mobilmu, Lan?"

"Lagi ngga bawa mobil. Di bengkel," jawab Alan sambil meringis sedikit ketika rasa nyeri melanda.

"Aduh. Emang ya. Kalian berdua kalau ngerepotin selalu totalitas," Tiara mengeluh. "Mana supir aku lagi cuti seminggu pulang kampung. Tadi aku kesini pakai ojol tahu. Ya udah, aku pesenin ojol lagi." Ia fokus mengotak-atik HP-nya.

Natasha dan Alan saling bertukar pandang, tidak menyahut seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh orang tuanya. Yang satu fokus pada nyerinya, yang lain pada perasaan bersalahnya.

Tiara melihat bahwa taksi online yang dipesannya tidak jauh. Ia berusaha memberitahu supirnya untuk mendekat ke lokasi mereka. Karena tidak kunjung mengerti, akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi supir.

"Sakit banget?" Natasha akhirnya membuka mulut dan memecah kesunyian.

Alan menggeleng. "Ngga sesakit sebelumnya. Ini lebih hampir ngga berasa," ujarnya.

Di dalam pikiran Natasha ada dua teori jika rasa sakit mulai menghilang, antara membaik atau memburuk. Yang mana sedang terjadi, ia tidak tahu. Tapi tentu saja ia berharap yang terbaik.

"Aku bukan orang lemah. Tenang aja. Ngga usah sampai sekhawatir itu sama aku lah," goda Alan, mencairkan suasana tegang. Ia memperhatikan ekspresi wajah Natasha yang tampak agak pucat.

"Gua bukan khawatir sama lu. Gua khawatir sama tabungan gua." Natasha menyangkal. Memang pada faktanya ia tidak ingin kehilangan uang yang sudah dikumpulkannya dengan sia-sia karena kesalahannya sendiri.

Alan mendengus geli. "Ya udah, duduk sini sambil nungguin Tiara balik," bujuknya.

"Ogah gua duduk sebelahan sama lu," Natasha menolak. Ia lebih memilih berdiri meskipun tanpa sadar kaki kanannya menghentak-hentak kecil di atas jalan.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now