27 Kabar Menyayat Hati

5 2 2
                                    

"Berhenti." Natasha menggunakan nada suara rendahnya. Ia kemudian menggandeng tangan Alan dan mengangkat tangan mereka di depan Matthew. "Gua mau lu tahu, Ko. Pacaran sama Alan itu pilihan gua. Jangan sudutin Alan dengan tuduhan kaya gitu. Lu ngga tahu alasan di balik semuanya karena ini emang bukan urusan lu. Yang pasti, kami berdua ngerti apa yang kami lakuin. Kami berdua saling sayang."

Matthew memutar bola matanya lalu mendesah kesal. "Oke. Kalau lu udah ngomong kaya gitu, gua bisa apa? Yang ngejalanin juga lu," ujarnya menyerah. "Gua ngga bisa maksain juga. Di waktu ini gua akuin, gua kalah. Tapi suatu kali, gua bakalan kejar lu balik sekali gua denger cowo lu ini nyakitin elu."

Sekali lagi keheningan tercipta. Para pelanggan lainnya pada akhirnya berfokus pada urusan mereka masing-masing ketika situasi mereda.

Setelah itu, Matthew minta diri karena tidak merasa nyaman lagi berada di antara mereka.

Pada saat makanan diantarkan, tidak ada seorang pun yang merasa ingin membahas apa yang barusan terjadi. Ketiganya memilih untuk makan dalam diam.

~~~

Kejadian semalam membuat kepala Natasha terasa pening. Ia bangun dalam keadaan yang tidak begitu sehat.

Pada saat sarapan, neneknya menyadari kondisi kesehatan cucunya dan bertanya ada apa. Tetapi Natasha hanya menjawab bahwa ini hanyalah masalah bulanan wanita. Ia pun meminta agar Nathan dan Alan juga tidak memberitahu hal yang sebenarnya.

Sesuai dengan kesepakatan, hari itu akan digunakan untuk bersantai. Tidak ada agenda khusus untuk bepergian kemanapun. Sementara Nathan sudah ada rencana dengan teman-temannya, Natasha hanya mengajak Alan untuk makan siang di area dekat rumahnya.

Mereka berjalan bergandengan menyusuri jalanan yang tidak terlalu lebar itu. Awalnya langit tampak cerah, tetapi tiba-tiba guntur terdengar dan hujan turun dengan derasnya.

"Kita berteduh disana aja, Nat." Alan menggandeng sang kekasih, berdampingan berlarian menuju ke sebuah toko yang tampaknya sudah bangkrut.

Sampai di tempat itu, Alan segera membersihkan kepala Natasha lebih dulu. Ia memastikan bahwa gadis itu dalam kondisi yang kering. Pasalnya sang kekasih sedang dalam kondisi tidak enak badan.

"Kamu kedinginan ngga?" tanya Alan memastikan.

Natasha menggeleng. "Belum. Tapi kuharap jangan lah ya. Soalnya ngelihat hujannya gini, aku ngerasa ini bakalan lama," katanya menganalisa situasi.

"Oke. Kalau kamu kedinginan harus bilang. Ya?" Alan menunjukkan keseriusan. Ia sungguh-sungguh mempedulikan gadis itu.

"Iya, babe. Tenang aja. Aku orangnya kuat. Ngga gampang sakit. Lagian kita barusan makan, ada kalori cukup." Natasha meyakinkannya dengan sedikit candaan menggoda.

Alan terkekeh geli. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Natasha dan memberikan belaian singkat.

Keduanya menatap ke depan, dimana tetesan air hujan tampak begitu lebat. Pada beberapa menit awal, ada orang-orang yang mendatangi tempat berteduh mereka untuk memakai jas hujan. Namun setelah itu, tidak ada siapapun lagi yang datang.

Di tengah riuhnya suara hujan, ada keheningan. Alan berinisiatif untuk angkat bicara lebih dulu. "Nat, makasih ya untuk semalem," katanya.

Natasha menoleh dan tersenyum. "Kenapa makasih?"

"Ya karena perkataanmu yang tegas itu bukti yang cukup buat aku untuk tahu gimana perasaanmu ke aku," sahut Alan. Ia menyelipkan rambut Natasha yang menutupi sebagian wajahnya ke balik telinganya.

"Emangnya perasaanku ke kamu gimana sih? Aku mau tahu dari sudut pandang kamu." Natasha memainkan alisnya.

Alan berdecak. "Ngetes aku ya kamu? Hmm," komentarnya. Ia menghela napas dalam. "Yah tapi oke aku jawab. Yang aku lihat, kamu itu sebenernya udah mulai sayang juga sama aku. Tapi aku tahu masih ada sisa-sisa rasa takut yang bikin kamu ragu. Ngga papa sih. Pelan-pelan aja. Aku bakalan ada di samping kamu terus, sampai kamu yakin sama perasaanmu sendiri."

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now