31 Badai Kecil

6 3 2
                                    

Menjadi mahasiswa teladan sudah pasti berarti mendapat perhatian para dosen. Di mata mereka Natasha dianggap mumpuni untuk mewakili universitas dalam berbagai kompetisi bahasa Inggris. Karena pada semester genap tahun lalu sempat memenangkan dua kejuaraan antar universitas dan regional Bali, ia diutus kembali untuk mengikuti kompetisi baru.

Spesialisasi Natasha adalah public speaking. Karena itu ia didaftarkan pada kompetisi pidato Bahasa Inggris dengan final di Singapura. Dosen walinya sudah menetapkan jadwal untuknya latihan bersama, mengingat putaran pertama akan segera berlangsung minggu depan.

Natasha sudah sempat bercerita pada Alan mengenai keikutsertaannya dalam kompetisi ini, tetapi tidak begitu lengkap. Pasalnya setelah revisi skripsi pemuda itu dinyatakan selesai, ia langsung berfokus pada pekerjaannya di perusahaan orang tuanya.

Maka dari itulah, tawaran untuk tinggal di rumah Alan pada akhirnya belum diterima oleh Natasha. Alasannya adalah mengurus kesibukan masing-masing.

"Udah kaya orang jomblo kesepian aja nih, Ibu Kim." Tiara menyindir sahabatnya ketika bergabung dengannya di kantin. Ia meletakkan buku tebal bertuliskan 'Hukum Perdata' di atas meja. "Berapa hari tanpa Alan kamu? Ngga bosen?"

Natasha memutar bola matanya lalu mendesah. "Ish, ngga sampai segitunya kali. Lagian kita ngobrol terus lewat telepon," sahutnya. "Kamu pikir orang pacaran itu harus sama-sama terus?"

Tiara bersedekap, memandang gadis di depannya dengan tatapan menyelidik. "Ya emang engga gitu sih. Tapi setahu aku orang pacaran, apalagi baru awal-awal, pasti kepinginnya lengket terus kemana-mana. Kenapa kamu kelihatan santai-santai aja ngga ketemu beberapa hari? Ngga marahan atau gimana kan?" Ia menganalisa.

Natasha meletakkan kedua tangannya di atas meja, badan condong sedikit ke depan. "Kita itu hidup di dunia nyata, Ra. Bukan fantasi kaya di drakor, yang mana cowo cewe pacaran bawaannya ketemu tiap hari," ujarnya. Ia menyeruput jus jeruknya yang tinggal setengah.

"Iya, ngerti. Tapi kalau aku pacaran, kayanya ngga bisa deh beberapa hari ngga ketemu. Apalagi sampai LDR," Tiara berpendapat dengan bahu mengedik. "Not my cup of tea."

"Hmm, mungkin karena aku terbiasa kali. Keluarga aku di Jakarta, aku di Bali," tukas Natasha santai. Matanya kemudian mengarah pada buku yang Tiara bawa. "Anyways, itu buku tebel harus dibaca semua?"

Tiara meletakkan tangannya di atas buku itu. "Engga lah. Ngapain," jawabnya dengan tawa. "Aku tahu aku ini pinter, suka belajar dan rajin, tapi ngga harus buku setebel ini dibaca semua. Lagian aku belum tentu lanjut ke karir di bidang hukum."

Natasha mengernyit. "Nah ini nih kesalahan anak muda jaman sekarang," ujarnya.

"Eh, kamu kaya berasa orang tua tahu ngga sih ngomong gitu?" Tiara justru menertawakannya.

"Bentar, aku kan belum kelar ngomong," protes Natasha.

"Iya, iya. Maksudnya anak muda jaman sekarang asal ambil jurusan tapi ngga mikirin karir apa yang diambil habis lulus nanti kan?" Tiara menebak apa yang sahabatnya akan ucapkan.

Natasha mengangguk. "Tuh tahu."

"Tapi aku punya alasan kenapa ngomong gitu barusan." Tiara berusaha membela diri, tak ingin disamakan dengan kebanyakan mahasiswa lainnya. "Makin ke sini, aku makin takut, Nat."

"Takut apa?" Kali ini Natasha memasang wajah serius. Ia tidak pernah mendengar sahabatnya bercerita tentang sebuah ketakutan sebelumnya.

Bibir Tiara mengerucut seperti bebek dan bergerak menyamping. "Politik itu kotor dan berat. Dosanya banyak kalau salah," ungkapnya.

Natasha tersenyum. "Astaga dragon. Ternyata gitu doang," komentarnya.

"Ih, kok gitu ngomongnya?" Tiara mengerutkan dahinya. "Bukan gitu doang. Ini beneran berat."

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now