35 Kenalan dari Singapura

7 3 2
                                    

Setelah persaingan yang sangat ketat, hanya tersisa tiga finalis. Selain Natasha ada satu mahasiswa dari Singapura dan satu mahasiswi dari Filipina. Selisih skor mereka sangat tipis. Di hari terakhir, pada putaran final kompetisi pidato ini, ketiganya diuji lebih lagi.

Namun setelah berbagai tantangan disuguhkan oleh para juri, pada akhirnya juara satu jatuh pada tuan rumah. Natasha mendapatkan peringkat yang kedua. Itu bukan hal yang sepele karena ia masih mendapatkan hadiah yang cukup besar, yaitu uang sejumlah 700 dolar Singapura yang setara dengan hampir delapan juta rupiah.

Kini Natasha berdiri di atas panggung, bersebelahan dengan finalis lainnya untuk diambil fotonya. Banyak jurnalis dari seluruh negara yang berpartisipasi datang untuk meliput.

"Seharusnya lo yang menang," bisik finalis dari Singapura itu.

Natasha tersentak karena pemuda itu bisa berbahasa Indonesia. Bukannya berkomentar mengenai isi perkataan itu, ia justru menyahut, "Kok bisa Bahasa Indonesia sih?"

Sebelum sempat menjawab, MC mempersilakan untuk para finalis kembali ke tempat mereka masing-masing. Acara pun segera ditutup.

Duduk bersebelahan, pemuda itu memberikan jawabannya yang tertunda, "Mami gue orang Jakarta, tapi papi gue dari sini."

"Oh..." Natasha mengangguk-angguk. "Tapi, kenapa lu bilang gua yang harusnya menang?"

Pemuda itu mengedikkan bahu. "It was just a wild guess. Ngarang aja. Tapi gue yakin itu bener. Politik lah. Sebagai tuan rumah, kalau skor tipis bedanya, ya ngga masalah kalau diakalin dikit," ucapnya.

"Jangan gitu lu. Itu namanya lu lagi defame negara lu sendiri," Natasha tidak mau asal termakan oleh tebakan tak berdasar itu.

"Ngga maksud gitu. Cuman dari secara logikanya aja, tadi gue tahu ada poin gue yang kurang. Di round terakhir, sebenernya kan lo justru kasih penjelasan detail yang ngga terbantahkan. Gue bukan juri aja ngakuin kok," pemuda itu masih bersikukuh dengan pendapatnya.

Natasha mengangkat bahunya. "Ya udah lah. Ngga papa. Gua udah seneng kok dengan prestasi gua sampai sini. Mengharumkan nama universitas gua," sahutnya tak mau terlalu pusing memikirkannya. "Eh iya, siapa nama lu? Berkali-kali MC nyebutin nama lu tapi gua ngga hafal juga." Ia terkekeh.

"Greyson." Pemuda itu menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. "Dan lo Natasha Wong. Ya kan?"

Jempol terangkat adalah respons pertama yang gadis itu berikan. "Hafal banget lu sama nama gua? Ngefans ya lu sama gua?" tebaknya bercanda.

Greyson tidak mengelak. Ia mengangguk mengiyakan. "Dari awal malahan. Lo tu stand out banget. Asli," pujinya.

Natasha memicingkan mata pada pemuda itu. "Modus ya lu? Suka sama gua lu? For your information, gua udah punya pacar," beritahunya serta merta.

Mendengar jawaban itu, Greyson tertawa. "Bisa biasa aja ngga sih lo? Berasa nyolot barusan loh," katanya. "Oh yang jadi pendamping lo disini itu? Itu pacar lo?"

"Hah?" Natasha mengernyit. "Siapa—oh, bukan! Kak Bobby itu dosen gua."

"Masa?" Greyson tak percaya.

"Ish, nyebelin nih anak. Masih pertama kenal juga. Ngapain juga gua boong?" Natasha mengaktifkan mode siaganya.

Greyson menggeleng-geleng geli. "Ya sori lah. Gue ngga maksud bikin sebel. Gue beneran ngga percaya aja. Soalnya cara dia memperlakukan lo tuh kaya pacarnya," balasnya.

Natasha bersedekap. Ia memberikan tatapan menyelidik. "Gua punya banyak pertanyaan, Grey. Cuman ada satu yang gua mau tanyain duluan," katanya.

"Apa tuh?"

Pacarku Op(p)a SahabatkuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora