24 Ancaman Internal

5 2 2
                                    

Sore itu juga Natasha meminta tolong Alan untuk mengantarkannya ke salah satu mall dimana toko sepatu rekomendasi Tiara berada. Ia tahu dirinya tak akan bisa pulang ke Jakarta lagi, maka ia ingin memberikan hadiah terbaik untuk adiknya. Masih ada lima hari sebelum tanggal 25 Desember. Ia bisa mengirimkannya segera agar bisa diterima sebagai hadiah Natal.

Memang benar Alan sudah sempat membantu pengobatan untuk neneknya secara finansial di awal. Tetapi ketika mereka semakin dekat, Natasha memutuskan agar pemuda itu tidak mengeluarkan sepeser uangpun untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itulah sebabnya Natasha hanya mengandalkan uang hasil pekerjaan ilustrasi lepasnya serta sisa dari uang yang Alan kirim untuk membuatkannya makanan.

"Lan, ukuran sepatumu berapa sih? Nathan tuh tingginya kira-kira sekamu. Dua tahun lalu ukuran sepatu dia tuh 43. Kalau sekarang mungkin nambah ya karena tingginya juga nambah?" Natasha mengukur tinggi badan kekasihnya dengan tangan kanannya. Ia harus berjinjit karena lebih pendek darinya.

"Oh ya? Aku sih 44 biasanya," jawab Alan. "Kamu mau cari sepatu apa untuk dia?"

Natasha melihat deretan sepatu dengan berbagai macam bentuk dan warna. "Ngga ada spesifikasi sih. Tapi yang pasti Nathan tuh orangnya trendy. Suka sesuatu yang ngga monoton," beritahunya. "Mungkin kamu bisa kasih saran sebagai cowo?"

Alan mengangguk. "Boleh, boleh. Aku cariin coba." Ia turut menyortir rak sepatu di dekatnya. Kemudian pandangan matanya jatuh pada salah satu sepatu putih bercorak biru muda dan hitam. "Kalau ini oke?"

"Hmm, Nathan rada jorok. Cepet kotor kalau pakai warna putih, Lan. Beda dari kamu yang perhatiin kebersihan," ujar Natasha kemudian lanjut mencari sepatu.

Pujian itu membuat Alan berdehem. "Segitunya ya kamu perhatiin aku?"

"Ngga usah sampai merhatiin juga orang bakalan tahu, Lan. Tuh sepatumu putih bersih tak bernoda." Natasha menunjuk pada sepatu yang pemuda itu pakai tapi matanya masih menelusuri rak demi rak.

"Kan orang bisa aja mikirnya karena ada yang nyuciin sepatuku."

Natasha akhirnya berdiri tegak dan berpaling pada Alan. "Tapi orang biasanya lihat dari kesan pertama, Alan. Ada kan tipe orang yang oke-oke aja pakai sepatu udah buluk. So, ngga peduli ada uang atau engga. Kalau orang udah suka jaga kebersihan, ngga punya uang pun, dia akan bersihin sepatunya biar dilihat bagus," jelasnya cukup panjang.

Alan pun mengangkat tangan. "Udah deh, kalah aku kalau ngadepin anak bahasa. Ada aja caranya untuk ngomong," candanya. Kemudian ia mengambil sebuah sepatu lainnya dan memberikannya pada sang kekasih. "Mungkin ini Natahan bakalan suka?"

Begitu pandangannya jatuh ke sepatu berwarna abu-abu pastel dengan corak hitam bergelombang dan sol merah itu, Natasha langsung mengambilnya. "Nah, ini boleh, Lan. Bungkus deh," katanya.

Seorang pramuniaga mendekati mereka ketika dipanggil. Setelah nota diberikan pada Natasha, ia pergi ke kasir. Dimintanya Alan untuk duduk menunggu saja. Tak lama ia kembali dengan hadiah untuk sang adik.

Alan berjalan di sampingnya keluar dari toko sepatu. Ia berbisik, "Itu kan harganya lumayan mahal. Kamu ada cukup tabungan untuk dirimu sendiri?" Setelah menanyakan itu, ia merasa agak menyesal, takut jika menyinggung.

Namun Natasha menganggapnya santai. "Iya, aku udah nabung sejak awal semester ini kok. Soalnya aku tahu ngga bisa balik dulu ke Jakarta," ujarnya. "Tenang. Everything is under control. Dan...! Kamu ngga perlu terlalu berlebihan ngirimin aku duit untuk bahan makanan. Secukupnya aja. Aku tahu kamu sengaja ngelebihin kan?"

Memiliki pacar yang kritis membuat Alan tidak bisa mengelak tebakannya. "Tahu aja," celetuknya tanpa dosa. "Yah, aku ngga mau lihat kamu susah lah. Kan kamu pacar aku. Dikiranya nanti aku cowo yang jahat."

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now