50 Momen Tak Terlupakan

3 1 2
                                    

"Aku mau kamu pindah dong. Kaki aku kesemutan."

Natasha yang sudah merasa deg-degan karena mengira pemuda itu akan berbuat lebih jauh, langsung berpindah dari hadapannya. "Maaf, maaf," ujarnya dengan memalingkan muka ke arah lain. Ia benar-benar malu. Untung ia tidak sampai menutup mata, mengharapkan hal lainnya terjadi.

Alan segera beranjak dari ranjang, menyangkal ucapannya yang sebelumnya mengenai kakinya yang kesemutan. Ia tidak tampak seperti itu. "Gerah banget disini. Aku mau mandi air dingin dulu," katanya.

"Hah? Malam-malam mandi air dingin? Nanti sakit loh," Natasha memperingatkan. Ia meninggalkan ranjang lalu menyusul kekasihnya dan menahan tangannya.

"Duh, Nat. Kamu ngga membantu sama sekali." Alan buru-buru menurunkan tangan gadis itu. "Kamu tidur aja, oke? Besok kita ke gereja." Ia bergerak cepat meninggalkan kamar Natasha dan menutup pintunya dari luar.

Natasha berdiri melongo tidak mengerti. Tetapi ketika berbalik ke arah ranjangnya, pikirannya terbuka. Ia menyadari alasan kenapa Alan ingin mandi air dingin. 'Ya ampun, bego banget gua,' batinnya merutuki kebodohan dan kelambanannya. Tentu saja ia sudah pernah membaca situasi seperti ini dalam novel romansa yang pernah dibacanya. Ia langsung merasa malu.

~~~

"Itu namanya ku-a-lat. Alias karma." Tiara menjulurkan lidah padanya dan terkekeh puas. "Awalnya aja kamu ngeledekin aku. Bergaya nyebut 'mana opa-opa bisa berdiri?' Nyatanya opa aku bisa kan?"

Natasha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa hari terakhir ini ia membatasi interaksi dengan Alan, terutama berkontak fisik. Ia juga baru menceritakannya seminggu kemudian pada sang sahabat sangking malunya.

"Wajar kalau itu terjadi. Kalian itu udah sama-sama dewasa." Tiara memberi wejangan dengan nada yang tenang, seakan ia sudah ahli dalam hal ini. "Makanya tahun depan nikah aja. Biar ngga ada kejadian kaya gini lagi. Soalnya udah sah mau ngapa-ngapain." Tawanya yang keras mengisi kafe pinggir pantai itu. Beruntung ramainya suara pengunjung lain mengalahkannya.

"Belum lulus kali."

"Kenapa ngga ikutin jejak Alan aja? Ambil tiga setengah tahun aja. Kan bisa. Sidang skripsi di bulan Desember kaya Alan. Kan kamu pinter," usul Tiara. "Mau bikin sah bulan Desember sekalian kan oke. Kalian berdua ulang tahun bulan Desember, menikah juga bulan itu. Keren ngga sih? Memorable banget tuh." Ia merasa bangga dengan idenya yang brilian.

Diam-diam Natasha menganggap ide Tiara tidak buruk juga. Tinggal di rumah Alan lama-lama menariknya pada kecenderungan yang tidak-tidak. Terlalu banyak kontak fisik yang berbahaya dan ia tidak mau sampai melewati batas. Dirinya sangat menjunjung tinggi kesucian. Namun di sisi lain, ia masih tidak diperbolehkan untuk tinggal sendiri demi menghindari masalah yang masih mungkin terjadi.

"Ngga usah banyak mikir. Ajuin ke dosen terus persiapin skripsi. Jurusan kamu itu ngga seberat jurusanku. Jangan kehilangan momen." Tiara terdengar mendesaknya hingga lawan bicaranya menjadi curiga. "Apa? Kok ngelihatin aku sampai gitu?"

"Lu dapet pesan sponsor apa gimana?" tanya Natasha menyelidik. Pasalnya akhir-akhir ini Alan memang gencar merayunya untuk segera menikah. "Opamu itu nitip rayuan sama kamu?"

Tiara memanyunkan bibirnya. "Engga. Tenang aja. Aku tuh sahabat yang baik untuk kamu dan cucu yang baik untuk Alan. Tanpa dikasih pesan sponsor, aku juga bakalan desak-desak kamu biar menikah. Udah gemes lihat kalian," komentarnya dengan sedikit sarkasme.

"Gemes karena jealous? Eh? Rimanya bagus ya. Gemes, jealous." Natasha terdistraksi karena hal berbau kebahasaan itu. Tidak heran ia sangat menyukai sekaligus menguasai pelajaran bahasa.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now