40 Perlu Ketenangan

4 3 3
                                    

Karena lukanya cukup dalam, Natasha harus mendapatkan dua jahitan. Beruntung tidak terlalu lebar. Namun akibat syok, ia menjadi lemas. Karena itu ia perlu lebih banyak beristirahat untuk sementara.

Alan yang merasa gagal melindungi kekasihnya dirundung rasa bersalah. Alhasil ia mengambil satu hari istirahat dari pekerjaannya untuk mengurus Natasha secara penuh.

"Harusnya kamu ngga usah sampai cuti, Lan. Kan masih ada banyak kerjaan di kantor. Tiara bisa bantu sebenernya," Natasha menyentuh tangan pemuda itu sambil tersenyum lemas, tubuhnya bersandar pada bantal yang diberdirikan. "Dan, aku masih bisa makan sendiri. Ngga perlu sampai kamu suapin begini."

"Udah. Bawel banget sih?" protes Alan yang sedang membawa sepiring makan siang. "Ijinin aku ngerawat kamu dong. Gantian. Kamu udah pernah ngerawat aku."

Natasha terkekeh. "Iya, iya," ucapnya menyerah. "Makasih ya."

Alan mengangguk, lalu membawa tangan Natasha dan menempelkannya pada pipinya sebagai sandaran. "Maaf ya, Nat, kamu harus ngalamin hal gini. Kalau aja aku lebih cepet putus kontak sama Sylvia. Kamu ngga perlu ngalamin gini," ujarnya.

"Udah... Kan waktu itu kamu juga ngga ngerti Sylvia ada gangguan. Dan toh sekarang dia udah ditangani dengan baik," hiburnya. Jemarinya bergerak mengusap pipi Alan.

"Kenapa harus ada masalah kaya gini ya?" Alan mengembuskan napasnya panjang, tanda tak habis pikir.

Natasha tersenyum. "Coz life is never flat," jawabnya.

Alan menurunkan tangan Natasha dari pipinya. "Kaya tagline snack ya," komentarnya sambil tertawa, diikuti Natasha. Ia kemudian menyendok suapan terakhir itu dan menyodorkannya ke mulut gadis itu.

Natasha mengunyah makanan bikinan Astika yang enak itu. Beberapa waktu terakhir ini selalu dirinya yang memasak, kini ia bisa mencicipi masakan orang lain.

"Oh ya, Nat. Aku mau ngaku bersalah satu hal lagi," kata Alan yang tidak terlalu mengejutkan Natasha. "Kok biasa aja? Ngga bereaksi kaget atau gimana gitu?"

"Kan belum tahu apa bersalahnya," jawab Natasha enteng setelah menelan kunyahannya. "Emangnya apa?"

Alan menggaruk belakang kepalanya.

"Kamu dicipok sama Sylvia?" tebak Natasha asal.

"Ish! Engga lah! Aku kan simpan baik-baik buat kita nikah nanti." Pengakuan Alan yang tiba-tiba itu membuat Natasha langsung terdiam. "Nah kan jadi blushing. Kamu sih, macem-macem mikirnya."

Natasha memegangi kedua sisi pipinya. "Bisa ya kamu bikin orang terpesona gini tanpa mikir," celetuknya, merasakan kehangatan menjalar di sekujur tubuhnya.

"Aku ngga berusaha banget-banget sih. Itu keluar gitu aja. Artinya ya kita clicked. Cocok. Jodoh kan?" Alan bermain-main dengan alisnya.

"Udah, udah. Tadi mau ngaku apa?" Natasha mengembalikan pembicaraan ke topik semula.

Alan berdehem memulai. "Aku... ngga sengaja ngomong tentang kondisi kamu ke Nathan."

"APA?" Kali ini Natasha terkejut mendengarnya. "Kamu nih... Duh, dia pasti kepikiran. Kalau dia jadi berusaha dateng kesini gimana? Mana minggu depan dia ada acara graduation." Ia memukul-mukul bahu Alan pelan.

"Hmm, dia udah disini."

"HAH?"

"Aku baru jemput dia tadi jam tigaan dari bandara waktu kamu tidur." Alan menjelaskan perihal tersebut. Deretan giginya berjajar rapi saat ditunjukkan.

Natasha menyentuh dahinya dengan tangan kanan. "Kalau gitu, ayo antar aku keluar. Aku mau ketemu Nathan," pintanya. Ia menggerakkan kakinya perlahan, hendak turun dari ranjang.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now