54 Desakan Genting

5 1 2
                                    

"Mama!" Alan mendekati sang mama yang terbaring di atas ranjang sebuah kamar VIP di rumah sakit terbaik di Bali.

Natasha menyusul tepat di belakangnya.

Astika berusaha bangkit untuk duduk tetapi Alan mencegahnya. "Mama tuh baik-baik aja, Lan," katanya. "Jangan sekhawatir itu."

Alan duduk di kursi yang ada tepat di samping ranjang. Ia menggenggam tangan mamanya. "Ya pasti Alan khawatir dong, Ma," sergahnya. Ia kemudian menoleh pada Tiara yang menunggui disana. "Apa kata dokter?"

Tangan Astika meraih tangan Tiara. "Sayang, tolong tekan bantu tekan tombol untuk naikin kepala ranjangnya dong, biar Oma bisa lebih enak posisinya," pintanya.

Tiara segera melakukan seperti yang diminta.

"Makasih," ujar Astika. Kemudian ia berpaling pada putranya. "Mama aja yang jelasin ke kamu. Mama ngga akan tutupin apapun."

Tatapan Alan terpaku pada sang mama. Dadanya berdebar kencang, tidak siap mendengar kabar buruk apapun.

"Dokter ngga bilang ada penyakit apapun. Sejauh ini aman. Tapi memang tubuh mama udah dinilai ngga sekuat dulu. Jadi dokter menyarankan supaya mama lebih hati-hati," beritahu Astika. Ia memandang pada Natasha. "Natasha, coba agak mendekat sini."

Natasha mengambil dua langkah untuk bergeser lebih dekat pada calon mertuanya itu.

"Jagain Alan ya, Nat. Mama bukannya ngga punya iman, tapi kayanya waktunya emang udah dekat." Astika melepaskan tangannya dari genggaman Alan dan menyentuh gadis itu.

"Ma, please lah, jangan ngomong gitu." Natasha merasa seperti kejadian satu setengah tahun lalu dengan neneknya terulang lagi. Air matanya langsung menetes.

Situasi di dalam ruangan itu penuh keharuan. Untuk sejenak ada keheningan. Tiara yang merasa tidak tahan untuk menangis memilih untuk keluar.

"Mama..." Alan tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pada faktanya tidak ada yang bisa memperpanjang umur jika memang garis kehidupannya sudah ditentukan.

Kali ini Astika bangun dari posisi berbaringnya. Ia mengubah arah tubuhnya sedikit lebih ke arah kedua pemuda itu. Disatukannya tangan mereka berdua. "Mama betul-betul ngga tahu kapan Tuhan panggil pulang. Sebelum itu terjadi, maaf Mama memang egois, tapi boleh ngga kalian menikah? Bukan sandiwara ya tapi. Bener-bener menikah," pintanya.

Air diminum serasa duri, begitulah Alan dan Natasha menghadapi beban akan kehilangan orang terkasihnya serta desakan untuk segera menikah.

"Segera daftar bimbingan pranikah di gereja. Mama sudah cari tahu. Ada enam kali pertemuan, dan bisa dipercepat. Ngga harus satu kali seminggu." Informasi Astika terdengar jelas sekali, seperti ia benar-benar sudah mempersiapkan semuanya. "Untuk urusan pakaian pengantin, wedding oganizer, nanti bisa dibantu mamanya Tiara."

Alan dan Natasha sama-sama tidak bisa menyanggah dengan perkataan apapun. Yang mereka bisa lakukan hanyalah menerima permintaan Astika.

~~~

Astika masih harus dirawat sampai dua hari lagi di rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan. Sementara itu Alan dan Natasha mulai melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menikah. Dengan koneksi yang mereka punya, segala sesuatunya diurus dengan lebih mudah.

Natasha dan Alan saling mencintai. Mengurus pernikahan seharusnya menjadi sesuatu yang membahagiakan. Tetapi tanpa sadar kondisi Astika justru lebih membawa kesedihan daripada kebahagiaan.

'Nat, kalau kamu udah selesai kelasnya, langsung ke parkiran ya. Aku tunggu disini aja. Lagi ngga mood ketemu orang-orang.' Begitulah isi pesan Alan yang dikirimkan pada kekasihnya.

Pacarku Op(p)a SahabatkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang