22 Jadi Percaya

8 3 2
                                    

Makan malam itu berakhir begitu saja. Natasha minta diri untuk kembali ke kos lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Alan pun menutupinya dari sang mama dengan mengantarkannya kembali. Perjalanan dua puluh menit itu terasa sangat panjang karena kesunyian yang tercipta.

Tak ada sepatah katapun kecuali 'makasih' yang terdengar dingin dari mulut Natasha, pada saat ia sampai di kos. Alan berdiam di mobilnya selama lebih dari setengah jam ke depan tanpa bergerak sedikitpun.

Dari balik jendela kosnya yang ada di lantai dua, Natasha terkejut mendapati mobil Alan masih di tempat yang sama. Waktu itu jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ia berpikir pemuda itu akan pergi pada akhirnya.

Hanya saja setengah jam berikutnya tidak ada perubahan apapun. Pada saat itulah Natasha memutuskan untuk keluar dari kosnya. Ia menghampiri mobil Alan dan menemukan pemuda itu bersandar pada setir dengan kedua tangannya sebagai tumpuan.

Kaca mobil diketok beberapa kali oleh Natasha, tetapi Alan bergeming. "Lan. Alan!" serunya dengan suara ditekan agar tidak menimbulkan keributan. Sekali lagi ia mengetok kaca mobil dan kali ini pemuda itu bergerak. "Alan, bangun, Lan."

Alan menurunkan tangannya dengan mata menyipit. Begitu nampak Natasha di sampingnya, ia menjadi sedikit terkejut. Ditekannya kunci sentral mobilnya kemudian ia membuka pintu. "Kok kamu turun, Nat?" tanyanya linglung.

Natasha berkacak pinggang. "Gimana gua ngga turun? Lah lu-nya masih disini. Anak orang nanti kalau ditemuin mati disini, kan gua yang tanggung jawab. Bisa dipenjara gua," protesnya. "Pulang sana. Jangan tidur disini."

"Maaf, maaf. Ini aku pulang. Tadi agak pusing, jadi istirahat bentar. Tapi malah ketiduran." Senyuman dan suara Alan melemah. "Kamu balik aja ke atas. Itu tulisan di gerbang kan jam sebelas gerbang dikunci."

Melihat ekspresinya begitu, Natasha tidak tega. Dalam hati dia merutuki jiwa ibanya yang terlalu tinggi. Maka sebelum pemuda itu menutup pintu, ia menahannya dan datang mendekat. Ia menyentuh dahi Alan dan mendapatinya demam. "Ih, ini kebiasaan lu ya? Kalau stress pasti sakit," keluhnya.

"Hah? Ngga kok. Ngga papa. Udah kamu naik," pinta Alan. Ia hendak menutup pintu tapi ditahan.

Natasha secara paksa mengambil kunci mobilnya. "Ngga usah banyak ngomong. Pindah ke jok sebelah. Tunggu gua," perintahnya. Kemudian ia masuk ke area kos, mengambil HP dan dompet dari dalam kamarnya, lalu turun kembali.

Saat Natasha sampai di mobil, Alan sudah ada di kursi penumpang depan. Ia pun masuk ke dalam mobil dan langsung menancap gas. Setelah dua kali ke rumahnya pemuda itu, ia sudah hafal tanpa harus memakai alat bantu navigasi.

Di sepanjang perjalanan Alan menggigil. Natasha terpaksa harus mematikan AC dan berpanas-panasan di dalam demi pemuda itu. Rambutnya yang panjang, meski sudah dikuncir sama sekali tidak membantu. Tetapi ia berusaha bertahan karena ada yang lebih membutuhkan bantuan darinya.

Begitu sampai di rumah Alan, Astika langsung keluar. Dirinya sudah lama menanti putranya yang tak kunjung kembali dan merasa khawatir. Saat melihat Natasha yang menyetir, ia pun merasa terkejut.

"Ibu, minta tolong bukain pintu ya. Ini Alan tiba-tiba demam, saya ngga tahu kenapa," pinta Natasha, melupakan sebutan yang diminta Astika untuk ia pakai beberapa jam lalu di restoran. Ia pun membuka pintu sebelah kiri. "Alan, bangun. Bantu gua. Lu berat. Seengganya lu bisa napak dan jalan." Ia kemudian menopang pemuda itu, menutup pintu mobil dan menekan kunci.

Tertatih-tatih Natasha menuntun Alan ke dalam kamarnya. Setelah sampai, pemuda itu langsung dibaringkan ke ranjangnya.

Astika kemudian menyusul, membawa satu tablet obat dan segelas air mineral. Ia memberikannya pada Natasha agar ia membantu Alan untuk meminumnya.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now