49 Bucin Tingkat Dewa

4 1 2
                                    

"Nat, kenapa sih kamu harus nginep di rumah Tiara untuk malam Natal?" protes Alan. Ia mengikuti terus kekasihnya kemanapun ia bergerak di area dapur.

Natasha mengernyit dengan badannya condong sedikit ke belakang saat memandang kekasihnya. "Ya kan ini acara spesial. Aku kepingin habisin waktu sama sahabat aku dong," jawabnya. Ia menunjuk pada kue kering yang sedang didekorasinya dengan lapisan gula. "Aku lagi bikin ini nih untuk dia. Lucu kan?"

Alan mengangguk tapi wajahnya cemberut. "Emangnya harus ya di malam Natal? Kan bisa hari lain," rengeknya.

Natasha menghentikan aktivitasnya sejenak dan meletakkan plastik segitiga berisi frosting berwarna merah muda itu. "Kenapa emangnya, Lan?" Ia sengaja mempermainkannya. Ini adalah bagian dari kejutannya untuk sang kekasih.

"Kamu kan tahu, tahun ini keluarga ngga ngumpul di rumah ini untuk ngerayain Natal sama-sama. Mereka semua liburan di Jepang termasuk mama. Masa kamu tega ninggalin aku sendirian di rumah ini?" Alan memasang wajah anak anjing. Ia benar-benar memohon agar gadis itu tidak pergi.

Tangan Natasha mendarat di bahu Alan, memberinya tepukan tegas. "Tenang aja. Aku bakalan disini sampai jam sembilan, atau maksimal jam sepuluh lah. Baru habis itu aku ke rumah Tiara. Cukup lah ya untuk bikin kamu ngantuk, terus tidur. Pagi-paginya jam tujuh lah aku sampai disini lagi," ujarnya, diam-diam merasa geli bisa mengerjai kekasihnya.

Tidak ada tanggapan dari Alan. Ia merasa sedih membayangkan akan sendirian pada malam pergantian umur barunya. Kemudian ia duduk di kursi yang ada tepat di sebelah Natasha.

"Lagian... ngga baik kalau kita cuma berdua di rumah, Lan. Bisa aja terjadi hal yang ngga diinginkan tahu," tambah Natasha. Ia lanjut mendekorasi deretan kue yang tinggal sedikit lagi selesai. "Tolong ambilin kotak itu dong, Lan." Ditunjuknya kotak karton yang sudah dibelinya kemarin, khusus untuk wadah kue manis ini.

Alan melakukan seperti yang diinstruksikan tetapi kemudian menyandarkan kepalanya di pinggiran meja. Matanya tidak berhenti memandang sang kekasih. Ia berharap gadis itu akan berubah pikiran. "Nanti aku traktir kamu gelato satu truk biar puas."

"Alan..."

"Atau dua deh. Selama setahun."

Natasha terkekeh-kekeh. "Kalau kamu bikin aku makan gelato sebanyak itu, nanti aku jadi gemuk dong. Emang kamu ngga malu punya cewe gemuk?" ujarnya.

"Engga." Alan menggeleng-geleng. "Kamu galak aja aku tetep suka. Apalagi cuma gemuk."

"Hah?" Tawa Natasha langsung meledak. "Ngga gitu konsepnya, Alan. Kamu tuh lucu amat." Ia meletakkan plastik segitiganya lalu memasukkan kue-kue yang frosting-nya sudah mengering ke dalam kotak.

Alan melihat pekerjaan sang kekasih sudah selesai. "Udah selesai kan? Sini." Ia merentangkan kedua tangannya pada Natasha.

"Tanganku masih kotor. Aku belum mandi. Gerah, Lan." Natasha menolak. Ia tidak ingin jika keringatnya sampai membasahi pemuda itu yang sudah mandi jam empat sore tadi.

Menghiraukan ucapan Natasha, Alan menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Ia memeluknya dengan erat. "Mau kamu kotor, bau, dekil, atau apapun itu, aku ngga peduli. Emangnya aku cinta sama kamu waktu kamu cantik doang?" Ia menyandarkan pipinya pada kepala kekasihnya.

Berada dalam kehangatan itu membuat Natasha bahagia. Memiliki Alan dalam hidupnya adalah hal terbaik yang pernah terjadi padanya. Ia merasa nyaman dalam dekapannya yang tulus.

"Nat, nikah yuk."

Sontak Natasha merenggangkan pelukannya dan sedikit menjauh dari Alan. "Eh? Apa-apaan barusan?" sergahnya. Wajahnya langsung memerah.

Pacarku Op(p)a SahabatkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang