44 Ujian yang Harus Diselesaikan

6 3 2
                                    

"Lan, ayo kita balik aja." Natasha mengajak kekasihnya untuk segera pergi dari sana. Ia tidak menginginkan ada pertengkaran di lokasi itu.

"Natasha, urusan kita belum selesai!" Alex memang tidak bisa meraih gadis itu karena ada dalam proteksi Alan, tetapi ia mendeklarasikan bahwa ia tidak menyerah.

Alan mengacungkan telunjuknya pada pemuda itu dalam kemarahan. "Kamu ngga ada urusan lagi sama Natasha ya. Kalian berdua udah selesai sejak kamu ninggalin dia. Jangan deketin pacar aku lagi," ia menegaskan status gadis itu.

"Jangan sombong lu! Mentang-mentang sekarang lu yang jadi pacarnya dia. Dibandingin lu, gua jauh lebih tahu Natasha," balas Alex, sengaja membuat Alan bertambah marah.

"Salah! Kamu memang duluan kenal sama Natasha tapi itu bukan berarti kamu jauh lebih tahu dia daripada aku. Kalau kamu emang tahu tentang dia, kamu ngga akan ninggalin dia!" Alan mementahkan ucapan lawannya itu hingga sanggup membungkam Alex.

Hati Natasha semakin tidak tenang. Ia sangat tidak suka mendengarkan percakapan ini. "Lan, udah yuk. Kita pergi," pintanya, kali ini dengan nada memohon.

Alan menyadari bahwa kekasihnya tidak tampak baik-baik saja. Ia menurut lalu menggandeng Natasha dan pergi dari sana.

"Gua ngga akan berhenti sampai gua dapetin lu balik, Nat!" seru Alex, gusar tapi tidak dapat berbuat apa-apa.

Petugas keamanan di pemakaman sudah muncul. Kehadiran mereka cukup untuk menghalangi kejadian yang lebih buruk.

Alan dan Natasha masuk ke dalam mobil. Mesin dinyalakan tetapi tidak bergerak.

"Nat," panggil Alan lembut sambil mengenggam tangan gadis itu. "Aku ada disini untuk kamu. Aku ngga akan biarin kamu disakitin lagi."

Tangisan Natasha langsung pecah mendengar ucapan kekasihnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika Alan tidak datang. Melihat orang yang dulu ia sayangi bertindak kasar seperti tadi melukai hatinya lebih daripada saat ia ditinggalkan. Padahal yang ia tahu, selama ini Alex adalah orang yang penyayang dan bukan pemaksa.

Hawa dingin yang mulai memenuhi mobil melalui lubang pengatur suhu tidak begitu berpengaruh. Tubuh Natasha terasa panas akibat emosi yang dituangkan dalam air mata itu. Ini adalah perasaan yang sangat ia benci. Nahasnya, ia justru harus mengulang pengalaman yang mirip.

Untuk beberapa waktu lamanya, Alan membiarkan gadis itu menumpahkan segala perasaannya yang tidak karuan itu. Ia dengan setia menanti sampai emosinya mereda dan menjadi lebih tenang. Diberikannya helaian demi helaian tisu yang diperlukan untuk menyeka air mata maupun ingusnya.

"Alan, makasih." Itulah kata pertama yang Natasha ucapkan setelah bisa mengatur napasnya. "Makasih udah datang."

Alan mengangguk dan meremas pelan tangan Natasha. "Iya... Kamu berharga buat aku, Nat. Aku ngga akan ninggalin kamu. Kamu boleh pegang janjiku," balasnya lembut tapi penuh keyakinan.

Natasha tersenyum lemah, memandang Alan dengan mata yang masih merah akibat menangis. "Denger perkataan Alex tadi, bikin aku sadar kalau masih ada banyak hal yang kamu ngga tahu tentang aku. Aku mau kasih tahu lebih banyak tentang aku, supaya Alex ngga sombong dengan bilang kalau dia lebih kenal sama aku," beritahunya dengan tekad.

Tangan Alan menyapu pelan sebelah pipi Natasha. "Kamu bisa lakuin itu pelan-pelan. Jangan kuatir. Masih banyak waktu. Aku pun bakalan ceritain tentang aku dan keluarga aku juga ke kamu," balasnya. "Sekarang yang penting kita sama-sama jalan terus dan lewatin rintangan apapun. Oke?"

"Iya." Natasha memberikan sebuah anggukan pasti.

Alan memandangnya begitu dalam. Ia menyatakan, "I love you, Natasha," dengan kesungguhan.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now