42 Bensin dalam Api

4 3 2
                                    

Alan memutuskan untuk turun menghadapi jurnalis itu secara langsung dengan didampingi oleh Trias. Namun secara diam-diam Astika dan Natasha membuntuti dari belakang, dan berhenti di area lounge yang tidak jauh dari pintu masuk, tapi tidak sampai terlihat oleh massa.

Para jurnalis itu segera datang menyerbu ketika orang nomor satu di perusahaan ini datang. Mereka mengajukan berbagai macam pertanyaan secara membabi buta. Ucapan mereka hampir-hampir tidak terdengar.

"Tenang! Semuanya tenang! Tolong bicara satu per satu." Trias menjadi juru bicara, dengan menggunakan suara lantangnya menghardik kumpulan orang dengan kamera dan mikrofon itu.

Begitu keadaan sedikit lebih tenang, salah satu jurnalis bertanya, "Alan Kim, apakah benar Anda adalah anak adopsi dari pemimpin sebelumnya?"

Belum sampai dijawab, yang lain memberikan pertanyaan susulan. "Mengapa bukan anak kandungnya yang mewarisi perusahaan?"

Kedua pertanyaan itu seperti peluru yang ditembakkan tepat di jantung Alan. Status adopsinya memang bukan sesuatu yang benar-benar rahasia, tetapi hal ini hanya diketahui di kalangan keluarga. Namun membuka perkara ini di publik tetap saja menyakitinya. Ia jadi kesulitan untuk bahkan sekadar membuka mulutnya.

Mendengar ketidakadilan yang dilontarkan pada sang putra, Astika tidak mau berdiam diri saja. Meskipun kakinya tidak sekuat dulu, ia berjalan dengan langkah pasti. Di depan massa, ia berhenti lalu menatap para jurnalis itu sambil menekan rasa geram.

"Kalian yang berusaha menjatuhkan keluarga kami, saya tidak akan tinggal diam. Perusahaan ini didirikan dengan keringat dan cucuran air mata. Ini warisan berharga bagi keluarga kami." Suaranya begitu berkharisma hingga tak ada yang memotong ucapannya.

Kilatan-kilatan cahaya kamera mengganggu pemandangan mata, meskipun terangnya tidak bisa mengalahkan sinar matahari. Tetapi agaknya Astika sudah terbiasa dengan pemandangan begitu, hingga ia teguh melanjutkan bicaranya.

"Kalian sendiri yang memilih untuk melangkah keluar hanya karena menganggap anak saya terlalu muda dan tidak bisa memimpin. Tapi saya memilih dia bukan tanpa alasan yang jelas. Saya perlu seseorang yang bersedia membangun terus warisan ini dengan sepenuh hati dan kekuatannya. Bukan seperti kalian... yang sudah merampok perusahaan kami." Ketegasan pada kalimat terakhirnya itu membuat para jurnalis kembali mengoceh.

Pertanyaan demi pertanyaan diajukan. Situasi semakin menjadi tidak kondusif. Kacaunya keadaan membuat Astika menjadi pusing.

Natasha menyadari bahwa ada sesuatu yang salah meskipun hanya melihat dari belakang. Wanita yang sudah menjadi seperti mamanya itu menyentuh kepalanya sendiri. Beberapa detik kemudian Astika melemah hingga tubuhnya mulai oleng. Sontak ia berlari menerobos untuk mendekat. "Mama!" serunya sambil menopang Astika.

Bersamaan dengannya, Alan menopang dari sisi lainnya. "Ayo bawa Mama masuk," perintahnya, entah pada siapapun di sebelahnya.

"Loh? Bukannya itu Natasha, pacarnya Alan Kim? Dreamy Couple!" Bukan hal yang mengherankan jika jurnalis itu mengenalnya. Di seluruh Bali, nama pasangan ini sudah dikenal luas. Hanya perlu tunggu waktu sampai massa meliputnya, yang sayangnya adalah hari ini.

Namun yang tidak pernah diduga akan terdengar adalah komentar yang datang setelahnya. "Natasha itu si Cinderella Modern dari Jakarta, mantan pacar anak konglomerat nomor tiga di Indonesia!" Seorang jurnalis bersuara lantang memperkeruh suasana.

Natasha secara otomatis terbelalak mendengarnya. Tangannya melemah, tidak bisa bantu menopang tubuh Astika. Ia bergeming layaknya patung, saat hal yang membuatnya memutuskan untuk lari ke Bali kembali mencuat ke permukaan.

Alan menyadari apa yang terjadi pada kekasihnya. Sebelum ia membawa sang mama pergi, dengan dibantu oleh Trias dan petugas keamanan, ia sempat berseru, "Natasha!"

Pacarku Op(p)a Sahabatkuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن