58 Dapet Momongan?

2 1 2
                                    

Yang namanya bulan madu selalu terkait dengan hal-hal manis. Meskipun sisa perjalanan pada akhirnya mereka atur secara mandiri, semua berjalan sesuai rencana juga. Satu minggu yang sudah terlewati nyatanya membuat mereka kangen rumah. Rencana dua minggu dibatalkan dan tiket pesawat bisa dijadwal ulang untuk kepulangan lebih cepat.

Natasha dan Alan kembali lagi ke rumah mereka dengan perasaan bahagia. Astika menyambut keduanya dengan hangat dan mengharapkan cerita-cerita menarik yang mereka dapatkan disana.

Hampir semuanya diceritakan pada Astika, termasuk kejadian dengan John. Awalnya mereka tidak ingin memberitahu tentang hal itu. Tetapi rupanya ia sudah menerima permintaan maaf dari pemuda itu secara langsung. Mau tidak mau Natasha dan Alan mengonfirmasi kebenarannya.

"Oke, oke. Tapi yang lebih penting dari itu... Kira-kira Mama bisa nimang cucu kapan ya?" goda Astika hingga yang mendengarnya jadi tersipu malu.

"Mama... Kan Mama udah tahu kita berdua ada komitmen." Alan mengingatkan wanita itu. "Biarin Natasha lulus dulu. Baru deh habis itu kita berusaha semaksimal mungkin. Tiap hari deh kalo perlu."

Natasha langsung memukul lengan Alan. Wajahnya benar-benar memerah seperti kepiting rebus. "Alan! Ish. Mulutnya bisa kali dikontrol," ucapnya menggeram pelan.

Astika tertawa terbahak-bahak, senang melihat pemandangan di hadapannya. "Yah, kan nggak papa Mama berharap dulu. Siapa tahu... nggak ada cukup waktu buat Mama," katanya, mengubah suasana menjadi sedikit melankolis.

"Ma, jangan gitu dong ngomongnya." Kali ini Natasha yang tidak bisa terima. Ia sudah pernah kehilangan nenek yang ia cintai. Dirinya tidak siap kehilangan siapapun lagi.

Alan berpindah dari sisi Natasha, mendekat kepada sang mama. "Alan nggak suka deh Mama ngomongnya gitu terus. Mama sehat-sehat aja, kan? Atau kita perlu cek ke dokter untuk mastiin semuanya aja. Gimana?" ujarnya mengusulkan. Mau tidak mau ia juga merasa was-was, kalau-kalau Astika tidak sedang bercanda.

"Enggak, enggak. Semua baik. Mama cuma mau punya cucu aja." Astika terkekeh santai. Ia menepuk-nepuk lengan Alan. "Kamu sama Natasha istirahat sana. Pasti masih jetlag kan? Mama juga mau tidur. Tadi seharian berkebun, capek juga." Ia bangkit dari sofa dengan dibantu oleh putranya.

"Oke, Ma. Good night," kata Alan, diikuti oleh Natasha yang kini beralih mendekat padanya. "Aku belum ngantuk sih jujur aja. Tapi kalo kita tiduran di ranjang, mungkin bisa tidur."

Natasha menyetujuinya. Resiko perjalanan jauh memang harus berurusan dengan hal-hal seperti ini. Ia beriringan dengan Alan masuk ke dalam kamar mereka.

Keduanya berbaring di ranjang dengan mata yang masih terang meskipun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka tidak lagi canggung untuk berpelukan setelah melewati bulan madu. Keintiman bukan lagi sesuatu yang begitu membuat malu, terutama bagi Natasha.

"Babe, kamu setuju nggak kalau aku diem-diem tanya sama dokter pribadinya mama? Di dalam hati tuh kaya ada rasa khawatir. Jangan-jangan mama tuh memang lagi nggak baik-baik aja," ucap Alan mengajak berdiskusi.

Natasha mengangguk. "Kalo itu emang mungkin dilakuin, ya aku setuju, babe. Aku jujur aja masih trauma," ungkapnya.

Alan mengerti istrinya pasti merindukan neneknya. Ia mengecup kening Natasha, berjanji dalam hatinya bahwa dirinya akan melakukan yang terbaik agar gadis itu selalu bahagia. "Oke, besok aku coba telepon dokternya dan bikin janji temu," katanya.

~~~

"Sebenarnya kondisi Bu Astika itu masih tergolong stabil, Pak. Tapi kalau melihat rekam medisnya, memang ada penurunan." Bambang, dokter pribadi keluarga yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk mereka menjelaskan. "Yang saya bisa beritahu berdasarkan pengalaman, setiap orang punya insting kalau waktu mereka sudah dekat."

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now