21 Bantuan

8 3 3
                                    

"Jangan bercanda lu, Lan." Natasha melepaskan diri dari pelukan Alan lalu mengambil barang belanjaannya yang ada di tangan kiri pemuda itu. Ia kemudian berjalan cepat meninggalkannya.

Alan mengambil belanjaan mamanya dari lantai dan mengejar Natasha. "Nat! Natasha, tunggu!" Ia mengikuti kemana gadis itu pergi.

Beruntung ke arah mana Natasha berjalan adalah parkiran dimana mobilnya berada. Astika sudah menanti di mobil. Dengan begitu Alan bisa mampir dengan cepat untuk meletakkan belanjaannya itu dan meminta sang mama menunggu.

Kemudian Alan mengejar Natasha kembali. Karena terpaksa, ia menarik tangan gadis itu dan menghentikannya berjalan. "Please, Nat. Dengerin dulu. Aku butuh ngomong," katanya.

Natasha menggeleng, menolak untuk berdiskusi. Hidupnya sudah penuh dengan beban dan ia tidak ingin menambahinya.

"Nat, tolong. Aku beneran butuh bantuan," Alan memohon.

"Lu lagi main-main ya sama gua? Hah? Bantuan macam apa yang mengharuskan lu untuk menikah? Apalagi sama gua. Di usia kita yang masih di awal dua puluhan. Bercanda ya lu?" Natasha tidak mengerti. Emosinya meledak, tak tertahankan.

Kepalanya saja sudah cukup pening memikirkan teks dari Nathan semalam. Ia memberitahunya bahwa kondisi sang nenek sudah semakin melemah. Kebutuhan biaya sekolah adiknya pun bertambah menjelang akhir semester. Belum lagi ke depan pendaftaran biaya untuk masuk kuliah akan semakin tinggi. Kini ia harus menghadapi humor gelap dari Alan.

"Mamaku kasih deadline dua tahun, Nat. Dia minta aku udah menikah sebelum aku umur dua lima. Ini aneh buat aku. Dia ngga pernah kaya gitu. Aku khawatir banget. Ngelihat kondisi dia yang makin lama makin lemah, bahkan mulai susah jalan, aku takut sesuatu sebenernya udah terjadi tapi ditutupi." Alan melepaskan tangan Natasha lalu menyisir rambutnya dengan jemari kedua tangannya.

Natasha terdiam. Ia tetap tidak membenarkan permintaan konyol itu meskipun hatinya terenyuh mendengar tentang Astika. Rasanya seperti tahu akan ada momen kehilangan. Dalam hal ini, ia adalah seorang veteran yang sudah lebih dulu melewati duka semacam itu.

"Aku tahu ini berat buat kamu. Dan ngga akan adil juga. Karena kamu berhak pilih pasangan yang terbaik untuk kamu. Jadi kamu bisa anggap ini pekerjaan aja. Aku akan bayar kamu. Terserah berapa tarifnya," Alan mengusulkan ide spontan itu sangking tidak bisa berpikir lagi.

Pernikahan adalah hal yang sakral bagi Natasha. Ia tidak pernah ingin bermain-main dengan hal itu. Sebelum meninggal, ia sudah melihat model keluarga impiannya. Orang tua yang saling mengasihi dan bisa mendidik anak mereka dengan penuh kasih sayang. Bagaimana bisa ia menikah dengan sembrono? Apalagi tanpa perasaan cinta?

Pada poin itu, Natasha memberi jeda pada pemikirannya. Apakah ia benar-benar tidak punya perasaan pada Alan? Lalu rasa apa yang dimilikinya saat bersama dengan pemuda itu? Kenyamanan, keterbukaan, menjadi diri sendiri, dan merasa ada yang hilang jika tak sedang bersamanya.

Mengesampingkan pemikiran itu, Natasha mengarahkan fokusnya pada kondisi finansialnya saat ini. Ia benar-benar perlu uang. Neneknya sudah tidak bisa sekadar duduk dan memasak seperti dulu. Maka dari itulah Nathan tidak lagi bisa menjajakan donat bikinan neneknya. Tidak ada yang mendukungnya selain dirinya sendiri.

"Aku akan kasih kamu waktu untuk mikir, Nat. Tapi aku mohon kamu bisa bantu aku. It's okay kalau pernikahan ini fake. Ngga harus tahun ini juga kok. Kita masih bisa nikah nanti. Kita cuman tunjukin ke mama aku kalau kita udah pacaran."

Natasha menelan ludah, matanya tertutup.

"Kalau suatu kali kamu ketemu cowo yang kamu suka, silakan aja pacaran sama dia. Aku bakalan jelasin juga ke dia nantinya. Pokoknya asal mamaku bisa lihat kalau tugas dia bisa tuntas gedein aku sampai menikah." Keputusasaan terdengar dalam perkataan Alan.

Pacarku Op(p)a SahabatkuWhere stories live. Discover now