Tiga Puluh

1.1K 103 12
                                    

"Ril, setelah acara kita boleh bicara?" Bisik Teddy ketika berpapasan dengan Deril.

Saat ini Tim Sukses Prabowo melakukan syukuran atas pengumuman kemenangan Bapak Prabowo kemarin. Dan tentu saja para ajudan dan Bapak Prabowo harus ikut serta di dalamnya.

Teddy dengan banyaknya pikirannya tetap harus melakukan tugasnya dengan profesional. Apalagi tidak lama lagi dia akan bersama-sama dengan mereka.

Ya, setelah pelantikan Bapak Prabowo dia harus melanjutkan pendidikannya lagi.

Pesan yang dia kirimkan pada Alexa sejak tadi pagi belum dibaca sama sekali olehnya, bahkan sepertinya Alexa belum mengaktifkan whatsappnya sama sekali.

Teddy hanya dapat mengetahui kabar Alexa dari Axel. Begitu saja dia sudah mulai tenang, setidaknya Alexa saat ini sudah sadar meskipun tidak ingin dijenguk oleh siapapun

Banyaknya rangkaian kegiatan ini membuat Teddy tidak tenang, ditambah lagi masyarakat yang mengambil videonya tanpa izin.

Dia bukan artis yang kehidupannya harus selalu diketahui oleh masyarakat, bukan? Dia hanya seorang prajurit yang sedang melakukan tugasnya. Tidak bisakah dia diberi ruang privacy?

Rezky sudah membantu Teddy untuk menenangkan mereka, tetapi hasilnya tetap nihil.

Akhirnya Teddy berjalan meninggalkan aula itu dan mencari tempat yang sepi tetapi tetap bisa memantau Bapak Prabowo.

Teddy kembali menatap handphonenya mengecek room chatnya dengan Alexa yang tidak ada perubahan.

"Mas ngak tahu mesti gimana lagi Alexa." Ucap Teddy gusar.

______________________

"Dek, loe beneran ngak mau ketemu ama Teddy?" Ucap Axel menatap Alexa yang saat ini sedang berdiri di teras kamar rumah sakit itu.

"Ngak dulu yah kak."

"Loe ada masalah sama dia?" Axel mulai menghampiri Alexa.

Diruangan ini hanya ada mereka berdua. Kedua orang tua mereka sedang pulang ke rumah karena Alexa yang menyuruh mereka, agar dapat beristirahat.

"Ngak. Masalahnya cuma ada di gue kok."

"Loe ngak mau cerita ke kakak?"

"Hmm."

"Gue ngerasa jadi kakak yang paling ngak berguna loh, Dek. Dari Mam bilang ke gue kalau gue bakalan punya adek, gue selalu jagain Mam. Bahkan gue ngak mau sekolah kalau Mam mau cek kandungan ke rumah sakit, gue selalu ikut. Sampai akhirnya loe lahir, gue minta sama Pap biar nama kita dimiripin. Pas loe udah mulai sekolah, gue ngak mau sekolahan kita jauh. Bahkan pas kuliah loe mau ngambil bisnis, gue maunya loe ngambil kedokteran biar gus ngak jauh dari loe. Tapi disitu Mam dan Pap ngejelasin ke gue kalau gue ngak boleh egois jadi kakak, gue harus tetap akan ngelepasin loe suatu hari nanti. Dan mulai saat itu gue akhirnya mantau loe tapi ngak se protektif dulu." Axel menjelaskan sambil mengingat kenangannya dahulu saat mereka masih kecil, sedangkan Alexa mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca.

"Loe ingat pas gue tugas penyelamatan waktu loe masih SMA?" Tanya Axel dan dijawab sebuah anggukan dari Alexa.

"Waktu loe ngalamin kejadian itu. Gue sampai ngelawan penanggung jawab tim gue karena ngak dibolehin pulang untuk ketemu loe. Gue tahu pasti loe sakit pas itu, dan gue ngak bisa ngelakuin apapun untuk loe." Ucap Axel yang kini memeluk Alexa.

"Pas gue balik dari tugas, loe ngerubah banyak dunia loe karena mereka. Loe ngejauhin dunia yang selama ini loe tinggalin karena mereka. Tapi sampai sekarang gue ngak bisa lakuin apapun untuk itu, apa itu yang buat loe ngak bisa cerita masalah loe ke gue?" Axel mulai menitikkan air mata, bersamaan dengan Alexa yang juga terisak sambil membalas pelukan kakaknya itu.

TraumaWhere stories live. Discover now