Chapter Twenty

46 5 0
                                    

Another Confession

Sudah satu jam berlalu sejak acara pemakaman berakhir, namun sosok laki-laki berpunggung lebar itu masih betah untuk berdiri di samping pusara. Ia menatap pusara milih ayahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia juga tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Sedih? Menyesal? Entahlah, dia seolah tidak bisa merasakan apapun. 

Chaesya dengan perlahan menghampiri Rizal. Dengan ragu, ia mengusap punggung Rizal. Kontan, Rizal menoleh ke arahnya. Senyum getir tercetak di wajahnya, sempat membuat Chaesya menahan napas melihatnya.

"Selama ini gue gak pernah jadi anak yang baik," Rizal membuka suaranya setelah beberapa saat yang lalu hanya diam menutup mulut. 

Chaesya menundukkan kepalanya. Membiarkan Rizal melanjutkan ucapannya.

"Selama ini gue cuman bisa liat Bunda sedih karena dia. Dan sekarang dia malah meninggalkan gue dan Bunda tanpa ucapan maaf. Padahal selama ini gue hanya butuh permintaan maaf darinya. Tapi, kenapa dia pergi?!" 

Suara Rizal yang rendah namun tersirat nada sakit seakan mencabik perasaan Chaesya. Kini tangan Chaesya beralih pada kepalan tangan Rizal yang bergetar. Chaesya mengelus punggung tangan Rizal seolah memberi ketenangan pada diri Rizal yang emosinya sedang tidak stabil.

Kepala Rizal menoleh pada gadis yang berdiri di sampingnya, tingginya hanya sampai telinganya. Tubuhnya terasa menghangat diperlakukan sedemikian rupa oleh gadis yang akhir-akhir ini membuat jantungnya berdetak halus.

Dengan gerakan yang berada di luar kendalinya, ia memeluk gadis itu. Menaruh kepalanya di bahu Chaesya dan menghirup aroma mint yang menyeruak indra penciumannya. Chaesya menahan napas sesaat. Matanya melotot lebar saat merasakan jantung milik Rizal berpacu kencang namun ritmenya teratur. 

"Biarkan gue seperti ini selama lima detik,"

Chaesya merasa deja vu. Dia ingat pernah mengalami hal yang serupa dengan Rizal. Untuk kedua kalinya, Chaesya hanya diam tak berkutik. Membiarkan dirinya berada dalam pelukan lelaki lain. Hey, bahkan dia saja belum pernah berpelukkan dengan Nugraha--yang notabene kini berstatus pacar. 

Sesuai dengan janjinya, lima detik kemudian Rizal melepaskan pelukannya. Lalu, memandangi iris mata Chaesya yang bewarna hitam pekat. Ada pantulan dirinya yang terlihat menyedihkan. Ia tersenyum miris. 

"Makasih,"ucapnya pada Chaesya, lantas berjalan meninggalkan pusara.

Chaesya mengekori Rizal. Berjalan di belakang cowok itu tanpa suara. Keheningan menyergap mereka. Chaesya tidak memedulikan soal itu karena ia yakin yang dibutuhkan Rizal saat ini adalah kesendirian. Jadi, saat ini Chaesya bertindak seolah-olah tidak ada.

"Chae,"

Chaesya menghentikan langkahnya. 

"Gue tau ini bukan waktu yang tepat," Rizal membalik tubuhnya dan kini jarak mereka hanya berbeda dua meter. Chaesya mengernyit mencoba menerka arah pembicaraan Rizal.

Rizal menghela napas tanpa kentara. "Setelah beberapa hari menghabisi waktu dengan lo. Gue sadar kalau lo selalu ada saat gue jatuh. Gue akui, awal-awal ketemu lo, lo selalu menjadi korban iseng gue. Karena gue suka saat ngeliat lo cemberut," 

Chaesya terkesiap mendengar penuturan dari mulut Rizal. Tanpa ia sadari, tangannya terasa basah entah apa penyebabnya. Laki-laki di hadapannya kini tengah tersenyum memandangnya. Senyuman yang kali ini terlihat tampak tulus. Tidak seperti senyuman yang selama ini ia tunjukkan. Senyuman menyebalkan. 

"Namun, lama kelamaan gue mulai penasaran dengan lo. Lo yang tiba-tiba mau ikut drama padahal sebelumnya lo ogah. Ekspresi lo yang berubah kontras saat melihat dia. Senyum yang hanya lo tunjukkan hanya pada Nugraha. Gue mulai sadar dengan hal-hal yang kecil," Rizal menggantung ucapannya, lalu melempar pandangannya pada Chaesya yang sedari tadi hanya diam bergeming, "dan menyakitkan."

Main RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang