Chapter Twenty One

36 4 1
                                    

About Him

Sejak kecil, Rizal hanya merasa dekat dengan bundanya. Entah mengapa ia selalu dilanda ketakutan saat berhadapan dengan ayahnya. Ayahnya yang bertubuh besar seperti tokoh James P. Sullivan dalam film Monster, Inc. dan senyuman yang menyeramkan seperti Voldemort menjadikan alasan Rizal untuk tidak dekat dengan ayahnya. Namun, berbeda dengan Vannia. Kakak perempuannya yang berbeda satu tahun itu, sangat dekat dengan ayahnya. Oleh sebab itu, mereka terkadang tak akur karena perbedaan rasa sayang mereka.

Rizal hafal, setiap ayahnya pulang dari kantor, dari dalam kamarnya ia mendengar suara teriakan, tangisan, dan pecahan benda beling. Rizal tidak berani untuk keluar. Begitu juga Vannia yang hanya dapat menangis ketakutan. Kejadian itu berlangsung tiap hari dan tiap tahun. Hal itu semakin memperkuat alasan Rizal untuk tidak dekat dengan ayahnya. Karena ayahnya selalu melukai bundanya. 

Siang hari adalah salah satu hal yang Rizal sukai karena pada siang hari ia tidak harus mendengar keributan yang terjadi. Dan malam hari adalah hal yang paling ia benci karena ia harus mendengar orang yang ia sayangi terluka. Sampai suatu hari, bundanya pingsan dengan luka di kepalanya dan ayahnya hanya diam seolah tidak peduli dengan keadaan bundanya.

Rizal benci ayahnya. 

Sampai bundanya dibawa ke rumah sakit, ayahnya tidak menjenguknya sama sekali. Begitu juga dengan Vannia seolah mengikuti jejak ayahnya. Jadi, hanya Rizal seorang anak lelaki SMP yang menjaga bundanya sepanjang hari. Beberapa hari bundanya dirawat, ayahnya datang bersama Vannia. Rizal mengharapkan permintaan maaf keluar dari mulut ayahnya, alih-alih yang ia dengar adalah gugatan penceraian.

Sejak hari itu, Rizal tidak ingin menganggap lelaki itu adalah ayahnya.

[-]

Rizal memakirkan motornya di parkiran motor. Ia melepas helm lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Begitu ia melangkahkan kaki keluar dari parkiran, matanya tidak sengaja menatap dua insan yang tengah berbicara di lobby. Jantung Rizal mencelos saat melihat tawa gadis itu. Tanpa ia sadari tangannya telah terkepal erat.

"Bisa gak jangan halangin pintu masuk?"

Fokusnya buyar lalu ditolehkan kepalanya ke empu suara. Kahla tengah memandanginya dengan ekspresi datar.

Rizal terkekeh. Padahal posisi dia berdiri tidak benar-benar menghalangi pintu masuk. "Jalanan masih luas dan lo mengeluhkan itu ke gue?"

Kahla memutar bola matanya jengkel. "Tetap aja, mau sampai kapan lo  berdiri di situ?"

Rizal tersadar kalau dia sudah berdiri pada posisi yang sama dalam beberapa menit. Tanpa menjawab pertanyaan Kahla, ia melengos masuk dengan langkah lebar. Sebisa mungkin dia menghindari kontak mata dengan gadis yang sedari tadi menjadi objek penglihatannya. 

Usahanya gagal saat Kahla meneriaki nama gadis itu yang membuatnya menoleh. Dalam hitungan detik, mereka beradu pandang. Rizal tidak bisa untuk memikirkan arti di balik tatapannya. Namun, yang Rizal tau wajahnya menunjukkan raut merasa bersalah. Rizal mendengus pelan lalu melempar pandangan pada orang yang di sebelah gadis itu.

Nugraha tengah memandangnya juga, entah apa maksud tatapannya. 

[-]

Mulut Chaesya sempat terbuka saat melihat Rizal namun kembali terkatup begitu Rizal membuang pandangannya ke arah lain. Chaesya menghela napas tanpa kentara. Lalu menoleh pada Kahla yang sedari tadi memandanginya.

Main RoleWhere stories live. Discover now