Chapter Thirty Six

35 1 0
                                    

Guilty

Sudut bibir Kahla tertarik ke atas seiring dengan menjauhnya Rizal. Laki-laki itu langsung bergerak cepat saat Kahla menceritakan Chaesya yang mencemaskannya. Walaupun Rizal tidak tau di mana Chaesya berada, laki-laki itu tetap berlari menyusuri jalan.

Cinta seperti itu ya? Membuat orang tidak berpikir jernih. Membuat orang senang hanya mendengar orang yang dicintainya mencemaskannya. Kahla mulai belajar apa itu cinta dari Rizal, Chaesya, dan Nugraha.

Kahla awalnya tidak mau jatuh cinta karena ia takut akan mengalami hal yang sama dengan Chaesya. Melihat betapa menyakitkan Chaesya saat melihat orang yang dicintainya memeluk sosok lain. Melihat betapa sedihnya Chaesya saat sosok yang dicintainya tidak menepati apa yang dijanjikannya.

Ia pun semakin takut pada cinta saat melihat Rizal. Rizal yang mengharapkan cinta seseorang, Rizal yang menunggu di tengah keputusasaan, keduanya terlihat mengilukan. Semua itu membuat Kahla tidak ingin mengenali cinta lebih dalam.

Sampai ia tersadar bahwa cinta tak melulu menyakitkan. Ia ingat bagaimana bahagianya Chaesya saat jadian dengan Nugraha. Ia ingat bagaimana Rizal yang terlihat senang hanya dengan menghabiskan waktu dengan Chaesya.

Cinta itu seimbang. Tak selamanya menyakitkan dan tak selamanya membahagiakan. Selama menghabiskan waktu bersama dengan orang yang dicintai semua akan baik-baik saja.

Pikiran rumit itu pun harus Kahla hentikan karena perutnya yang mendadak berbunyi.

"Mang, mie rebusnya satu lagi!"pinta Kahla di tengah keramaian warung ropisbak.

"Siap Neng!"

Satu hal yang belum ia ketahui, Kahla mulai menyukai Rizal tapi ia tidak menyadarinya karena perasaannya belum sebesar seperti Rizal yang ingin memiliki Chaesya.

[-]

Chaesya menatap sekeliling taman yang mulai sepi. Satu persatu anak-anak kecil di sana mulai berpulangan karena matahari mulai terbenam di ujung horizon. Warna langit yang semula oranye perlahan tergantikan oleh warna hitam menandakan malam akan tiba. Chaesya suka memandangi perubahan warna dari senja menuju malam. Untuk sejenak ia melupakan perasaan bersalahnya.

Kini Chaesya benar-benar sendiri di taman. Angin malam menerpa wajahnya, mengelus kulit Chaesya yang tidak tertutupi kain. Dingin. Ia memeluk tubuhnya lantas memutuskan untuk meninggalkan taman.

"Chaesya!"

Langkahnya terhenti mendengar suara yang tidak asing. Dengan cepat, ia menoleh ke sumber suara. Ekspresi terkejut menempel di wajahnya saat melihat sosok laki-laki berlari ke arahnya.

Ia tidak bisa berbohong akan perasaannya. Chaesya bahagia hanya dengan melihatnya. Mulutnya hendak terbuka namun tertutup kembali saat laki-laki itu menariknya ke dalam pelukan.

Kejadiannya berlangsung dengan cepat sampai ia lupa untuk bernapas. Satu hal yang ia rasakan, tubuhnya menghangat padahal beberapa detik yang lalu ia kedinginan.

Rizal memeluknya sangat erat tidak ingin Chaesya meninggalkan dirinya kembali. "Jangan pergi. Tetap di sini sama gue,"

Chaesya terkesiap mendengar intonasi Rizal yang tenang, tapi sarat akan memohon. Tangan Chaesya terangkat hendak membalas pelukan Rizal namun rasa bersalah kembali merundungnya. Alhasil tangannya mengambang di udara.

Ia merasa tidak pantas untuk bahagia sementara ia telah menyakiti Nugraha. Rasa bersalah itu membuatnya sesak. Menyadari tidak ada respon dari Chaesya, Rizal melepas pelukannya.

"Gue denger dari Kahla kalau lo ke rumah sakit,"jelas Rizal dengan tatapan yang tertuju pada Chaesya.

Chaesya tidak berani menatapnya. Ia juga sudah menyakiti Rizal dengan menggantungnya. Dia telah menyakiti dua orang sekaligus karena kebimbangannya.

"Zal, maafin gue yang udah nyakitin lo,"ucap Chaesya tanpa menatap Rizal langsung.

Rizal mengangkat satu alisnya heran. "Gue gak mau denger permintaan maaf lo,"

Chaesya mengangkat kepalanya, terkejut. Benar juga, mana mungkin Rizal menerima permintaan maafnya setelah apa yang dilakukan Chaesya selama ini.

"Nah, gitu kek. Kalau gue gak ngomong gitu, sampai kita pulang lo gak akan mau liat gue,"tandas Rizal dengan kekehan pelan.

Chaesya tidak tau harus merespon apa. Ia kembali terdiam dan menundukkan kepalanya. Matanya melotot saat melihat Rizal berjongkok dengan wajah mendongak ke arahnya.

"Lo liatin apaan, sih? Kayaknya tanah lebih indah dari gue sampai lo liat ke bawah terus,"ujar Rizal heran mengikuti arah pandang Chaesya.

Chaesya menatap Rizal lamat-lamat. "Zal, gue suka sama lo,"

Rizal bergeming seolah mencerna ucapan Chaesya. Setelahnya ia mengangguk mengerti. "Gue tau,"

Kini gantian Chaesya yang heran. Kenapa laki-laki ini percaya diri sekali?

"Karena gue tau makanya gue selalu memaksa lo. Kahla pernah bilang ke gue, kalau gue emang mencintai lo dengan tulus gue gak boleh terus memaksa lo. Gue sadar semenjak kita pulang dari café. Lo gue suruh nolak, malah ngomong maaf mulu. Kan, orang bingung,"

Rizal berdiri menundukkan kepalanya sedikit agar melihat wajah gadis itu lebih jelas. Ia tidak peduli dengan jantungnya yang berisik karena pengakuan gadis itu. Ia kembali menarik gadis itu dalam pelukannya.

Chaesya mendorong tubuh laki-laki itu. "Gue jahat Zal. Gue jahat sama lo. Gue pacaran sama Nugraha pun udah nyakitin dia. Gue putus sama dia pun makin nyakitin dia. Gue gak pantes buat bahagia,"

Rizal menatap Chaesya lekat-lekat. Jujur ia terkejut dengan fakta kalau mereka telah putus. Ia menghela napas secara berlebihan."Chae, lo mau berbuat jahat sejauh mana lagi, sih?"

Alis Chaesya menyatu heran. "Maksudnya?"

Rizal melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau lo gak bahagia, orang yang cinta sama lo juga gak akan bahagia, Chae. Gue tau lo mau nolak gue lagi, kan? Emang gue bakal bahagia dengan penolakan lo? Emang Nugraha akan bahagia kalau lo larut dalam kesedihan?"

Chaesya tidak merespon. Menunggu ucapan Rizal lebih lanjut.

"Chae, gue tau lo merasa bersalah karena udah nyakitin Nugraha. Tapi, mau sampai kapan lo nyalahin diri lo? Lo mau nyalahin diri lo yang suka sama gue?"

Tepat sasaran. Semua pertanyaan yang dilontarkan Rizal berhasil menohoknya. Memang benar yang dikatakan Rizal, tapi rasa bersalah masih terus menggerogoti dirinya.

"Chae,"

Chaesya memberanikan diri untuk menatap langsung Rizal. "Zal, maaf, kasih gue waktu. Gue butuh menjernihkan pikiran gue,"

Sorot mata laki-laki itu berubah kecewa. Dia benar-benar berharap Chaesya akan memberi jawaban sesuai dengan ekspetasinya. Rizal memaksakan dirinya untuk tersenyum. Teringat kalau Chaesya sedang kalut dengan rasa bersalahnya. Ia tidak bisa terus mendesaknya karena hal itu akan semakin pikiran Chaesya berantakan. Satu-satunya cara adalah membiarkan Chaesya memikirkan kembali ucapannya. Lalu, menunggu jawabannya.

"Maaf, Zal,"cicit Chaesya pelan.

Rizal mengusap kepala gadis itu. "Gue jago dalam hal menunggu, Chae. Disuruh nunggu lagi gue gak masalah. Tapi, kali ini gue mengharapkan jawaban yang sesuai keinginan gue. Take your time, Chae. I'll be waiting for you anytime,"

Chaesya tersenyum tipis. Katakanlah dia jahat karena kembali menggantung Rizal. Tapi, ia tidak bisa menjalin hubungan saat pikirannya sedang berantakan. Ia tidak mau rasa bersalah itu akan membuat hubungannya dengan Rizal retak. Ia hanya dapat berharap Rizal mengerti dengan keadaannya.

"Gue anter ya ke rumah lo,"ujar Rizal.

Chaesya hanya mengangguk lalu berjalan beriringan dengan Rizal menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan Rizal tidak mengatakan apapun. Di perjalanan yang sunyi itu, Chaesya hanya berpikir terus berpikir. Dia ingin cepat-cepat tidur, berharap esok pagi perasaan bersalahnya sirna dan segera menemui Rizal dengan membawa kabar bahagia.

***

Main RoleWhere stories live. Discover now