Chapter Twenty Four

30 4 0
                                    

Angry

Rizal membuka pintu rumahnya. Menaruh sepatunya di samping rak sepatu. Lalu, melangkahkan kakinya menuju sofa di ruang tv. Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia telah menyelesaian tugas presentasinya bersama Chaesya.

Sepanjang mengerjakan tugas tersebut, Rizal menyadari perilaku Chaesya yang aneh. Namun, Rizal menyimpulkan kalau gadis itu menjadi canggung setelah mendengar ucapan terus terangnya. Rizal tidak bisa bertindak basa-basi lagi setelah Chaesya mengetahui perasaannya. Yang harus ia pikirkan adalah besok, bagaimana ia menghadapi Chaesya.

Ia mengacak rambutnya lalu mengusap wajahnya. Ia memutuskan untuk meminum segelas air putih agar pikirannya teralihkan. Rizal melenggang menuju dapur.

Terdengar suara pintu depan terbuka. Ia langsung dapat menebak pelakunya.

Vannia muncul dengan kedua tangan yang dipenuhi kantung plastik. Melihatnya kerepotan tidak membuat Rizal beranjak dari tempatnya ia berdiri. Ia hanya memandanginya dengan sorot mata penuh kebencian.

"Mau sampai kapan lo berpura-pura baik gini?"tanya Rizal tanpa tedeng aling-aling.

Seolah sudah terbiasa dengan sikap Rizal. Vannia hanya mendengus lalu menaruh belanjaannya di dapur. Lantas mengeluarkannya satu persatu.

"Lo tau kan kalau gue gak pernah menganggap lo seorang kakak?"tambah Rizal, menajamkan suaranya.

Vannia masih diam bergeming. Semakin sibuk dengan aktivitasnya. Memindahkan belanjaannya yang mayoritas sayur-sayuran ke dalam kulkas.

"Lo juga gak punya hak untuk tetap tinggal di sini,"

"Zal, obat bunda habis,"

Emosi Rizal semakin tersulut. Bukan hal itu yang ia harapkan keluar dari mulut Vannia. Rizal pun menghampiri gadis itu lalu menarik tubuhnya dengan kasar. Kini mereka berhadapan. Dapat Rizal lihat wajah Vannia yang menahan tangis.

"Gue ngomong sama lo. Bukan ngomong sama tembok!"bentak Rizal dengan suara meninggi.

Kini emosinya benar-benar sudah di atas permukaan. Wajahnya memerah dengan detak jantungnya yang tidak karuan. Urat-urat di sekitar wajahnya mulai terlihat.

"Gue cuman mau ngejaga bunda,"sahut Vannia dengan suara pelan.

Rizal tertawa sumbang. "Lo gak perlu ngelakuin hal itu. Karena gue yang akan ngejaga Bunda,"

"Mana mungkin gue mempercayakan Bunda kepada lo, setelah lo kabur-kaburan gak jelas sampai dia pingsan sendirian di rumah!" Vannia menghunuskan tatapannya tepat pada manik mata Rizal.

"Dan mana mungkin gue mempercayakan Bunda ke elo setelah apa yang lo lakuin pada Bunda dulu!"balas Rizal dengan sengit, menatap Vannia dengan tatapan membunuh.

Napas Vannia terkecat. Ia akui, ia memang salah. Dulu dia tidak pernah menyayangi bundanya seperti ia menyayangi almarhum ayahnya. Baginya, ayah adalah segalanya. Sehingga ia tidak membutuhkan bunda maupun adik laki-lakinya.

"Itu masa lalu, Zal. Gue udah minta maaf sama Bunda dan Bunda maafin gue. Lo mau sampai kapan memperlakukan gue seperti ini, Zal?"balas Vannia dengan air mata yang mulai mengalir. Dadanya terasa ngilu dibombardir dengan segala rentetan kalimat yang menyakitkan.

Rizal mengambil napas perlahan. Kepalanya terasa sakit karena amarah. Ia mencoba mengatur ritme napasnya. Dengan langkah perlahan namun pasti, ia meninggalkan Vannia.

Vannia mencekal lengannya. Mencoba menghentikan langkah Rizal. "Jawab gue. Mau sampai kapan, Zal?"

Rizal menepis tangannya. Tanpa membalik badannya ia berkata, "Lo tau, Bunda gak pernah benar-benar maafin lo, ia udah terlanjur sakit karena lo dan laki-laki itu."

Main RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang