Chapter Thirty Three

27 2 0
                                    

Guilty

Rizal mengerjapkan matanya saat merasakan sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Ia meregangkan ototnya sekaligus melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul sebelas siang dan dia baru bangun. Bukan suatu hal yang mengejutkan jika terjadi saat liburan sekolah. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar lalu melangkah menuruni tangga menuju dapur. 

Saat menginjak tangga terakhir ia dapat mendengar suara berisik dari arah dapur diikuti dengan ringisan. Begitu memasuki area dapur ia mendapati Vannia yang tengah membereskan wajan beserta teman-temannya. Rizal melengos tak acuh lantas mengambil gelas.

"Siang!"seru Vannia riang saat dia menyadari kehadiran Rizal.

Rizal tak menggubris ucapannya alih-alih ia menenggak air putih yang sudah menjalar ke kerongkongannya.  

"Hari ini gue yang akan masak makan siang. Lo harus cobain ya masakan gue!" Masih dengan intonasi yang riang Vannia membuka topik pembicaraan dengan Rizal yang tampak enggan satu ruangan dengannya. 

Rizal menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja dengan sedikit keras. "Gue makan di luar sama temen," Selanjutnya ia mengeluarkan ponselnya lalu mengetikkan pesan untuk Kahla agar menemaninya makan siang demi menghindari satu meja dengan Vannia.

Vannia menghela napas tanpa kentara lalu kembali memasang wajah ceria. "Oke fine, tapi makan malam lo harus makan di rumah. Karena gue akan masak makan malam juga! Lo mau gue masakin apa?"

Rizal mendengus lalu pergi meninggalkan Vannia yang tengah menunggu jawabannya dengan penuh harap. Baru ia berjalan empat langkah, Vannia mencekal tangannya. Ia menoleh dan mendapati sepasang mata yang menyorotkan kekecewaan. 

"Zal, mau sampai kapan kita kayak gini?"

Bukan jawaban yang Vannia dapat justru tawa mengejek yang ia dengar dari Rizal. Namun, tawa itu digantikan dengan air muka Rizal yang mengeras. "Lo gak bosen nanya hal yang sama terus?"

"Gue gak akan berhenti nanyain hal yang sama sampai lo benar-benar berubah, Zal,"jawab Vannia berusaha untuk terlihat tidak gentar. Namun, kenyataannya ia menciut dan ingin meruntuhkan segala benteng pertahanannya. 

Rizal memutar tubuhnya agar ia berhadapan dengan gadis itu. Tatapan matanya menusuk ulu hati Vannia dan senyuman miring itu membuat nyalinya semakin menciut. "Gue gak akan pernah berubah menjadi baik buat lo,"

Tatapan Vannia berubah nyalang saat mendengar serentetan kalimat tajam, wajahnya memerah menahan emosi yang sedikit lagi akan meluap. "Lo udah janji sama Bunda kalau lo akan memperlakukan gue dengan baik tapi sekarang lo gak ngebuktiin janji itu Zal!"

"Sejak kapan lo senaif itu, Van? Gue janji ke Bunda bukan berarti gue akan benar-benar memerlakukan lo dengan baik, gue cuman akan mencoba memerlakukan lo dengan baik saat ada Bunda,"

Mulut Vannia terbuka tidak percaya saat mendengar kalimat penuh penekanan dari Rizal. Kedua matanya mulai terasa basah dan dalam hitungan detik kristal bening itu akan luruh membasahi kedua pipinya. Namun dengan sisa-sisa usaha yang ia miliki, ia mencoba menahannya. Sedari tadi kedua tangannya sudah terkepal erat sampai-sampai ia merasakan jarinya menusuk telapak tangannya. 

Ia berusaha untuk menatap langsung Rizal. "Jadi, lo mau gue melakukan apa supaya lo mau maafin gue?"

"Gue cuman mau lo pergi dari rumah ini dan musnah dari pandangan gue,"

"RIZAL!"

Teriakan tersebut membuat mereka menoleh bersamaan lalu mendapati Bunda yang tengah menatap mereka dengan sorot mata penuh kemarahan. Ia menghampiri Rizal dengan langkah lebar dan sejurus kemudian sebuah tamparan melayang ke wajah Rizal.

Main RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang