Bagian 1

3.3K 163 1
                                    

"Ciahhhhhh..."

"Gass Dik gasss,"

"Dikta, inget Sintya!"

Mendengar nama Sintya, Dikta seakan tersadar. "Tenang, gue nggak akan berpaling dari Sintya."

Ninda mendengus. "Bu, saya mohon saya nggak mau duduk bareng dia!"

Namun Bu Gipta menegaskan sekali lagi bahwa dia tidak akan mengubah keputusannya. Ninda hanya bisa pasrah.

Setelah itu, 9A kegiatan bebas. Heran, mau ujian tapi bawaannya freeclass melulu.

Ninda duduk di bangkunya dengan malas. Teman duduk barunya sedang sibuk entah ngapain, tapi tetap di dalam kelas.

Chiara menghampiri Ninda, lalu duduk di sampingnya. "Yang sabar, ya. Gue tahu ini berat buat lo, jadi sabar aja ya."

Ninda mendelik. "Lo kira gue dipecat dari sekolah apa, sampe ngomong ini berat buat gue."

Chiara tertawa. "Abis muka lo ditekuk gitu. Enek gue liatnya."

Ninda mendengus kesal melihat tingkah sahabatnya ini.

***

Jam pelajaran ke-6 ternyata tidak kosong, alias terisi. Diisi oleh pelajaran matematika yang diajar oleh guru super baik, Pak Budi.

Dikta duduk di samping Ninda dengan tenang, tanpa beban sama sekali. Tak peka kalau manusia berkacamata di sampingnya ini sangat-sangat-sangat tidak tenang dan terbebani.

Pak Budi masuk ke kelas dengan gayanya --mengapit buku matematika di depan perut. Seisi kelas tetap ribut, tidak mengindahkan datangnya seorang guru.

"Siang Anak-Anak," sapa Pak Budi.

"Malam, Pak!" celetuk Dikta.

"Emangnya sekarang malem? Bego lo," cibir Ninda.

"Suka-suka guelah!"

Ninda memutar bola matanya malas. Baru pertama kali duduk, dan dia sudah membuat Ninda naik darah.

Apalagi nanti, ketika pelajaran matematika berlangsung. Yang ada dia pasti akan mengganggu Ninda dengan bertanya terus, sebab setiap pelajaran matematika, Dikta selalu tidak mengerti. Setidaknya itulah yang dipahami Ninda.

"Nah, mari buka latihan soal-soal. Hmm, apa ada yang tidak dimengerti dengan himpunan?"

Hening, tidak ada jawaban.

"Oke. Sekarang mari kita ulas kembali soal-soal kalian semasa kelas tujuh," ucap Pak Budi sambil membuka paket soal.

"Anjir himpunan, gue kagak paham," ucap Ninda. Dikta di sampingnya mencibir.

"Sekretaris kok goblok," katanya membuat Ninda mendelik.

Ninda mendengus. Namun dia tidak menanggapi ucapan Dikta. Dia lanjut mengerjakan soal-soal USBN tahun lalu.

"Ini apa lagi," celoteh Ninda saat dia menemukan soal geometri.

Ninda menoleh ke samping. Chiara duduk di pojok depan, sangat jauh dari dia. Sedangkan Meta dan Diandra, duduk di belakangnya. Sama jauhnya dari Ninda.

Ninda mendesah. Dia menghadap ke belakang pada Riena. "Yen, nomor tiga apa?"

Riena mendongak menatap Ninda sejenak, lalu kembali fokus ke soal-soalnya. "Hmmm.. Gatau, Nin. Itu trigonometri. Yang paling ngerti itu Yoga, Lina, sama Chiara. Gue mah apa, cuma ngerti nulis doang,"

Ninda menghela nafas lalu mengangguk-angguk.

Setengah jam kemudian, bel istirahat berbunyi nyaring. Dikta bersorak, dan Ninda menutup telinganya.

"Lo kalo teriak jangan di kuping gue bisa, kan? Budek gue!" seru Ninda. Dikta menghiraukannya, malah berlari keluar kelas dengan tenangnya.

Ninda mendengus kesal, lalu menghampiri Chiara dan Meta yang sedang mengobrol bersama. Diandra? Sudah ngeluyur duluan bersama Tara.

"Mettt... Chiii..." rengek Ninda pada dua sahabatnya itu. Chiara dan Meta menoleh.

"Kenapa lo?" tanya Chiara.

"Pusing. Soal mat,"

"Oh." jawab Chiara lalu fokus pada ponselnya.

Ninda mendecak. "Chiiii ajarin kek. Lo nggak peka banget!"

"Iya, iya." kata Chiara menyanggupi. "Yang mana lo nggak ngerti?"

"Dikta."

"Ha?" Chiara ternganga dengan jawaban Ninda.

Sekretaris VS Berandal [Completed]Where stories live. Discover now