Dikta Point of View

1.8K 100 4
                                    

Dikta memperhatikan Ninda ketika gadis itu sudah duduk di bangkunya.

"Lo... jadi pindah?" tanya Dikta. Entah kenapa dia merasa khawatir bila Ninda jauh darinya, tidak berada di dekatnya.

"Hm. Iya. Biar nggak ada salah paham dan hidup gue tenang lagi,"

Dikta menggigit bibir bagian bawahnya, merasa cemas kalau Ninda menghilang dari sisinya. Seminggu bersama gadis itu, membuat Dikta merasakan hal baru yang tak pernah dirasakannya bersama Sintya. Bukan suasana romantis penuh gairah seperti biasanya. Tapi suasana romantis yang kocak, penuh perdebatan panjang dan celetukan-celetukan nggak jelas.

Memang, Dikta tidak terlalu peduli ketika Ninda dipindahkan duduk bersama dia. Toh, Ninda dulu bukan siapa-siapanya.

Dikta kadang-kadang selalu jahil pada sekretarisnya ini. Pernah, Dikta membuat Ninda kesal. Dan Dikta menyukai ekspresi kesal Ninda.

Flashback on,

Pagi-pagi, Dikta sengaja sudah di kelas. Bukan untuk apel ke kelas Sintya, tapi untuk mengerjai teman duduk yang baru dua hari bersamanya.

Dikta memindahkan buku-bukunya yang amat berantakan dari kolong mejanya ke kolong meja Ninda yang rapi dan bersih berikut sampah-sampahnya.

Kemudian, dengan tampang sandiwaranya, dia membersihkan kelas, atau lebih tepatnya pura-pura membersihkan kelas.

Ketika Ninda datang, dia langsung menepok punggung Dikta keras. "Lo! Lo kan yang mindahin buku-buku lo itu ke kolong meja gue?! Hihhh, malah sampah-sampah plastik bekas makanan lo pindahin juga lagi! Lo sialan banget!" gerutu gadis itu padanya.

Dikta tertawa terbahak-bahak ketika melihat Ninda susah payah mengeluarkan isi kolong mejanya yang berantakan karena ulah Dikta.

Bukan hanya itu saja. Besoknya, ketika pelajaran matematika, Dikta menyeletuk nggak jelas di pelajaran Pak Budi. Ninda mencubit lengannya kesal.

"Sakit, anjir!" ringis Dikta.

"Makanya diem!"

"Gue punya tangan sama kaki sama sendi. Kalo gue diem gue kaku kek manekin."

"Baguslah lo jadi manekin. Biar musnah dari 9A trus dipajang di mall!"

"Yee, trus lo bakal tiap hari ke mall gara-gara gue jadi manelin jadi bisa diliatin teross,"

Dan Ninda melotot sambil memukul Dikta keras, menutupi salah tingkahnya.

Flashback off.

Dikta tersenyum samar mengingat kejadian selama seminggu dia duduk bersama Ninda. Tanpa ia sadari perasaan itu mulai tumbuh, seperti mendung. Kemudian berkembang semakin besar, perlahan menjatuhkan hati Dikta pada gadis yang kini menatapnya bingung.

Dikta tak tau kapan pastinya dia menyukai sekretarisnya ini. Sampai dia melupakan sosok Sintya di hatinya. Mungkin, ia sudah menyukai Ninda, semenjak dia dengan berani melawan preman-preman SMA di gedung depan. Jika benar, maka Dikta setuju dengan pernyataan, bahwa semakin lama rasa dipendam, maka rasa itu semakin besar.

Itulah yang dialami Dikta. Menolak kata hatinya, memendam perasaan itu pada Ninda hanya karena logikanya berkata dia masih milik Sintya.

Ninda, seorang sekretaris yang dulu tak pernah dipedulikan Dikta, menjadi seseorang yang kini penting di sisinya.

Ninda, seorang sekretaris yang dulu menjadi penghalang baginya dalam bolos pelajaran dan bergabung dengan genk sekolah, kini menjadi penghalang antara kedekatannya dengan Sintya. Dan bagusnya, itulah yang Dikta inginkan.

Bukan Sintya si badgirl cantik. Melainkan Ninda, sekretaris 9A yang pemarah dan tidak begitu cantik.

Dikta mengamati wajah Ninda yang kini sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Menyadari kenapa sesungguhnya dia ingin beradu akting dan berdansa dengan Ninda di Twin Collaboration nanti. Bukan sebab ingin berteman.

Lebih daripada itu.

Dikta ingin dekat dengan Ninda, sekarang atau pun nanti. []

Sekretaris VS Berandal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang