EPILOG

2.7K 89 7
                                    

Mata yang dalam
Bagai samudra
Menenggelamkanku dalam arusnya
Itulah irismu

Trisula
Oh, sungguh gagah dikau
Memegang senjata itu
Dan gendang yang memikat hati ini

Apalah daya,
Aku hanya seorang manusia
Yang tak mungkin menjadi istri
Dari seorang dewa besar sepertimu

Namun aku tahu
Aku meyakini keajaiban
Kini aku disini
Menjadi saksi dan saktimu

Aku Dewi Pharvati
Kau Dewa Siva
Semesta mengenal kita
Ayah dan ibu dunia

Gemuruh tepuk tangan membahana, memenuhi ruangan aula yang dipenuhi oleh padatan siswa kelas 7 dan 8. adik-adik kelas yang antusias menonton pertunjukan spesial, pertunjukan kolaborasi antara kelas 9D dan 9A.

Chiara menarik nafas setelah berdeklamasi. Iringan lagu dari speaker mulai terdengar, dan Riko, yang tadi memainkan keyboard sebagai pengiring musik puisi Chiara, berdiri menyambut Chiara untuk berdansa. Mengelilingi pasangan yang kini bertindak sebagai Dewa Shiva dan Dewi Pharvati.

Dikta tersenyum pada gadis cantik yang ada di hadapannya. Dikta tidak menyangka, gadis itu pandai menari. Mereka bertindak sebagai pasangan ayah dan ibu alam semesta.

Di belakang panggung, Ninda memperhatikan itu dengan seksama. Usahanya melatih Sintya dan Dikta agar menjadi Dewa dan Dewi yang serasi, berhasil. Keputusan yang Ninda buat, tidak pernah membuat dia menyesal karena tidak bisa menari bersama cowok yang disukainya.

Alunan musik berganti, menjadi musik tari salsa. Ninda menarik nafas sebelum bersiap tampil sebagai penari salsa solo.

Ninda melangkahkan kakinya ke atas panggung, kemudian mulai menari mengikuti irama lagu. Yang lain mengikuti, berdansa salsa dengan pasangan masing-masing. Hanya Ninda yang tidak punya pasangan, namun sorot lampu mengarah kepadanya.

Ninda membungkuk mengakhiri tarian salsanya, yang kostumnya nampak sangat kontras dengan kostum yang lain. Ninda menghela nafas, sebelum meraih microfon dan mulai berbicara.

"Apa teman-teman dan guru bingung, mengapa pertunjukkan kami sedikit aneh?"

Ada gumaman persetujuan.

"Pertunjukkan kami, adalah satu kolaborai tarian modern dengan tari siwa dan pharvati.  Kami ingin menggabungkan unsur religius dengan modern. Harap diterima dan dinikmati,"

Ninda membungkuk hormat, diikuti seluruh pemain lainnya. Gadis itu tersenyum kikuk, kemudian berjalan menuju belakang panggung.

"Yah, setidaknya kita udah berbuat yang terbaik," ucap Yoga. Riko merangkul leher Chiara dan mengiyakan ucapan Yoga. Meta merapat pada Tio, yang sepertinya sudah berbaikan satu sama lain. Sedangkan Abi dan Diandra, entah kemana keduanya menghilang.

Ninda mengangguk. "Gue yakin, kita semua dapat nilai bagus, setidaknya lebih dari KKM,"

"Apapun hasilnya, nggak akan berarti kalau misalkan lo milih jadi pemeran utama, Nin," ucap Sintya tulus."Kalau aja, lo dulu ngebiarin gue sakit hati dengan cara menyingkirkan gue dari peran utama drama ini, gue bakal bikin drama ini hancur.  Thanks, Nin, udah bikin drama ini lancar tanpa kontroversi,"

Ninda mengangguk. "Yang penting lo sama Dikta baikan dan nggak ada masalah lagi."

"Masih ada masalah, Nin." kata Sintya. Sorot matanya serius menatap Ninda. "Ada lagi."

"Apa?"

"Kalau lo masih ngegantungin Dikta, gue bakal berharap gue bisa dapetin hati Dikta lagi."

"Maksud lo apaan?" tanya Ninda tidak paham.

"Kasih kepastian gue, Nin." ujar Dikta. Cowok itu menatap Ninda penuh harap.

"Hah apaan, sih." ujar Ninda bingung, Dia sebetulnya tahu persis apa yang dimaksud, namun dia menghindari.

Dikta menarik nafas dalam. "Ninda Armita Devasya."

"Darimana lo tahu nama gue?" celetuk Ninda.

"Diem dulu anjir." gerutu Dikta. "Syukur lo mau jadi pacar gue."

"Mau, lah!" seru Ninda dengan senyum lebar, namun tak urung pipinya merona merah.

Dikta mengerjap-ngerjap.  "Eh, gue, tadi ..."

"Udah gue terima kok! Tadi lo mau minta gue jadi pacar lo kan? Iya, gue mau," jawab Ninda tegas, namun pipinya memerah.

Dikta tertawa, mengikuti yang lainnya yang sudah tertawa keras-keras daritadi. Dia memeluk Ninda, namun gadis itu menghindar.

"Eits, baru kelas 9. Nggak boleh peluk-peluk. Belum muhrim,"

Tak tahan, Dikta mengacak rambut Ninda gemas.

*

Terkadang, kita harus berkorban demi sesuatu yang lebih indah. Mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaan. Kita berkorban, dengan berada di titik terendah. Namun pengorbanan kita, akan memberikan, keindahan yang lebih baik daripada bila kita tidak berkorban.

Salam manis dari Sekretaris love Berandal.

Sekretaris VS Berandal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang