Bagian 10

2.1K 127 1
                                    

Ninda merapikan rambutnya yang acak-acakan setelah dijambak Sintya. Juga mengusap-usap pipinya yang merah karena ditampar.

Ninda menghela nafas sebelum melangkahkan kaki memasuki kelasnya.

"Ninda! Lo kemana aja?! Lo nggak kenapa-kenapa, kan?" Chiara dengan wajah panik datang memeluk Ninda sambil memastikan Ninda tidak kenapa-napa.

"Gue oke, Chia. Sorry tadi gue ilang. Ini uang lo, Meta, sama Diandra." Ninda menyodorkan uang pada Chiara.

"Nggak penting itu uangnya. Ceritain ke kita, kenapa tadi lo ilang?" tanya Diandra. Ninda menghela nafas. Kalau dia ceritakan, Chiara pasti akan murka. Lalu dia akan melabrak Tifa dan menyebabkan perdebatan panjang.

Pernah suatu kali Chiara membela Ninda karena dia dituduh main bakar-bakaran saat kelas tujuh. Lalu, Tifa dengan nyolotnya mengatakan kalau Ninda bersalah. Dan itu mengakibatkan perdebatan tiga hari tanpa henti di obrolan grup kelas.

Ninda tidak mau hal itu terjadi lagi.

"Heh, kok bengong?" tanya Chiara sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajah Ninda. Ninda mengerjap dan tersadar.

"Ah? Oh nggak, kok. Gue tadi... umm--"

"Woi! Woi! Bu Gipta masuk kelas!!" seru Nanda.

Ninda menghela nafas lega. Setidaknya, dia tidak perlu bercerita pada Chiara. Untuk saat ini.

***

Dikta melirik teman duduknya dengan tatapan heran. Ninda yang biasanya sewot bila dia nyeletuk-nyeletuk nggak jelas bersama Radhit dan Yoga, kini nampak menerawang ke depan. Seolah ada beban di pikiran Ninda.

Dikta mendesah pelan. Membuat Ninda menoleh pada Dikta. "Lo ngapain?"

"Apa?"

"Ngapain desah-desah gitu? Serem gue dengernya."

Dikta terkekeh, terbesit satu perkataan jahil. "Harusnya elo yang desah yak."

"Dikta! Mesum banget otak lo!" seru Ninda sambil memukul lengan Dikta. Dikta tertawa puas, berhasil mengerjai teman duduknya.

Riena memerhatikan interaksi mereka. "Nanana, katanya nggak seneng duduk bareng?"

Ninda menoleh pada Riena. "Yeu, siapa juga yang seneng duduk bareng dia?"

Riena mengerling menggoda, lalu kembali fokus pada Chiara dan Lina yang sedang menjawab soal-soal di buku paket di depan kelas.

"Chiara apa nggak capek ya, tadi abis bugh-bugh di depan, trus dengan cepat dia berubah lagi jadi classy Chiara. Trus berubah lagi jadi Chiara pecicilan. Lah, kena Xheiter-Ego apa?" oceh Dikta.

Ninda terperangah mendengar ucapan Dikta. "Apaan xheiter-ego?"

"Ya itu, kepribadian ganda."

"Oh, kayak pacar lo itu." ucap Ninda mencibir.

"Apa?"

"Ya kepribadian ganda, kayak Sintya."

"Wait-wait." Dikta menghadap Ninda sepenuhnya. "Maksud lo apaan pacar gue kena Xheiter-Ego?"

"Ya jelaslah. Tadi dia sok-sok takut di gedung depan, trus sok-sok alim di ruang BK, and then yang terakhir dia ngamuk ke gue di gudang belakang sekolah."

"Hah?"

Ninda menoyor kepala Dikta. "Hah, hoh, hah, hoh mulu, lo!"

Dikta mengerjap. "Seriusan dia ngamuk ke elo tadi?"

Ninda diam sejenak. Kenapa dia bisa secara gamblang mengatakan hal ini pada Dikta? Sementara tadi saat mengatakan pada Chiara, rasanya amat berat?

"Woy, sekretaris 9A yang budek." ledek Dikta.

"Ck. Iya. Tadi dia jambak gue, nampar gue. Puas lo?"

"Buset, dah. Cewek apaan dia tuh."

"Dan elo tipe cowok apa yang mau-mau aja sama cewek cabe murahan kayak dia?"

Dikta manggut-manggut. "Kalo gitu gue ganti pacar aja."

"Siapa?"

Dikta menatap Ninda dengan tatapan tak terbaca.

"Kalo lo aja gimana?"[]

***

Sekretaris VS Berandal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang