Ninda Point of View

1.8K 90 0
                                    

Sesungguhnya, Ninda merasa bingung dengan keputusannya kali ini untuk pindah duduk dari Dikta. Namun pikirannya terus mendesak dirinya, bahwa inilah pilihan terbaik. Benarkah demikian?

Pikirannya berkata "iya"

Sayangnya, hatinya berkata "tidak"

Apa-apaan ini, kenapa ada bagian kecil dari hatinya yang merasa tak rela berjauhan dengan Dikta.

Ninda menghembuskan nafas pelan. Merasa ada gejolak pemberontakan antara pikiran dan hatinya.

Tapi biar bagaimana pun juga, Ninda yakin keputusan untuk pindah duduk dari Dikta adalah keputusan yang tepat. Yah, agar hari-harinya tenang lagi, tidak dicap PHO apalagi pelakor, tidak lagi menghalangi hubungan Dikta dan Sintya.

Ninda harus mengambil keputusan ini, sebelum Sintya mengetahui kalau Dikta menawarkan dirinya sebagai pemeran utama drama musikalisasi dan puisi nanti dan bersanding dengan Ninda.

Kalau sampai Sintya tau dan dia masih duduk sebangku dengan Dikta, bisa-bisa terjadi perang dunia ketiga.

Intinya Ninda nggak mau itu terjadi, maka dia memilih untuk pindah dari Dikta.

Tapi, kenapa hatinya mencelos tidak setuju?

Sekali lagi Ninda menghembuskan nafas pelan, merasa hampir gila gara-gara perang batin ini.

Ninda menatap Dikta di sampingnya yang terlihat, sedikit kecewa?

Ninda tersenyum sejenak mengingat beberapa perkataan Dikta yang berhasil membuatnya baper setengah mati.

"Gue bisa jadi pacar kayak gitu buat elo,"

"Gue cuma mau mastiin elo aman,"

"Gue peluk juga lo!"

"Kalo lo aja gimana?"

Sekali lagi, jantungnya berdebar kencang mengingat semua perkataan Dikta, walau ia yakin itu hanya sekadar gombalan basi. Tapi, tak urung ada kupu-kupu berterbangan di perutnya ketika mengingat kejadian itu lagi.

Kalau di novel-novel, namanya jatuh cinta.

Nah, Ninda nggak percaya dia bisa jatuh cinta sama model berandalan kayak Dikta. Apalagi, Dikta itu menyebalkannya setengah mati.

Selain pernah mengobrak-abrik kolong meja Ninda, dia pernah membuat Ninda malu setengah mati ketika pelajaran matematika.

Flashback on.

Ini hari yang biasa di 9A. Guru matematika mereka yang belum datang membuat sebagian besar penghuninya bermain games di ponsel. Tak terkecuali Dikta dan Yoga.

Chiara menggeram kesal pada Yoga karena ketua kelasnya itu tidak mencari Pak Budi sekalipun sudah 5 menit jam pergantian pelajaran.

Ninda mencari kehadiran berandalan kelas. Oh, bukan karena kangen apalagi rindu, BUKAN! Ninda berniat mencari agar berandalan itu tidak kemana-mana dan kelayapan dan bolos.

Ternyata anak itu sedang bermain bola plastik yang entah sejak kapan ada di belakang kelas. Kemudian, dia berteriak. "Woi Ninda! Mending lo cari Pak Budi!"

Ninda mengernyit heran, sebab berandalan kelasnya itu tumben-tumbenan menyuruhnya mencari guru. Tak mau pusing dia pun berjalan keluar kelas, mencari Pak Budi di ruang TU.

Balik-balik ke kelas, Ninda dengan bodohnya percaya kalau tidak ada Pak Budi di kelas, kata chat Dikta. Dia dengan santai membuka pintu kelas dan berteriak.

"Woi Pak Budi belum datang!"

Hening, dan krik.

Lalu semua tertawa ngakak. Ninda mengernyitkan dahinya, dan keheranannya terjawab ketika Pak Budi berdehem di meja guru.

"Ninda, kamu kenapa?"

Ninda memerah karena malu, dan melotot pada Dikta yang kini sudah abis-abisan meledeknya.

Pikirin aja gimana malunya!

Flashback off.

Ninda geram sekali kala itu. Dan Dikta membahasnya selama dua hari kedepan tanpa henti.

Dan kenapa pula Dikta selalu berhasil membuatnya salah tingkah? Apa... Ninda menyukainya?

Sepertinya... iya.

Eh, tidak deh. Jangan suka sama Dikta.

Nanti dia dilabrak Sintya.

Juga kenapa masalahnya jadi tambah rumit setelah Wikan tiba-tiba datang, memangilnya dengan sebutan 'Ninin'. Seperti di novel-novel.

Semoga saja Sintya tidak tahu kalau Wikan itu pernah pacaran. Kalau Sintya tahu, Ninda yakin dia akan mengatakan kalau Ninda itu playgirl; sudah menggaet Wikan lagi-lagi mengambil Dikta.

Ah, bodoamat. Ninda nggak peduli.

Yang dia tau sekarang, hatinya jatuh pada sosok berandal yang mungkin nggak bisa dia miliki, sebab ada Sintya yang notabenenya masih pacarnya Dikta.

Dan, untuk apa Ninda berharap lagi?

***

Sekretaris VS Berandal [Completed]Where stories live. Discover now