Bagian 11

2K 115 2
                                    

Ninda menganga tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Dikta tadi.

"Lo ngomong apa tadi?" tanya Ninda memastikan.

Dikta terkekeh lalu mengacak-acak rambut Ninda. "Nggak usah baper lo,"

Ninda mencibir. "Yee, yang baper siapa juga," kemudian kembali fokus pada buku paket Bahasa Indonesia di depannya.

***

Jam pulang adalah jam yang paling ditunggu-tunggu oleh Ninda, Chiara, Meta, dan Diandra. Mereka juga menunggu Devani, sebab gadis itu ingin menyampaikan sesuatu pada mereka.

"Ninda, cepetan! Gue tinggal, nih?" ancam Chiara sambil mengambil ancang-ancang berjalan. Meta dan Diandra bahkan sudah ngeluyur tangga duluan.

"Yeu, tungguinlah! Gue masih rapiin buku, nih."

Chiara cemberut. Merapikan buku bisa jadi hal yang paling lama bagi seorang Ninda.

"Yoksi." ucap Ninda seraya menggendong tasnya. Chiara hanya mengangguk, masih merasa kesal dan bete.

Ninda dan Chiara menuruni tangga hendak menemui Meta dan Diandra yang menunggu di depan pos satpam.

Ponsel Ninda berbunyi, dia menghentikan langkahnya lalu merogoh-rogoh tasnya mencari ponsel yang terus berdering.

"Ck, siapa lagi nelpon?" gerutu Chiara yang menoleh ke belakang sebab Ninda berhenti.

"Tau ih. Lo duluan aja udah."

Chiara mengangguk, lalu berlalu menyusul Diandra dan Meta.

Ninda berhasil menemukan ponselnya yang tertindih buku-buku di dasar tas.

Nomor tidak dikenal.

Ninda mengernyitkan dahi, lalu memutuskan mengangkat telepon. Terdengar suara dari seberang.

Belakang sekolah atau lo pengecut.

Dan telepon dimatikan begitu saja.

Ninda menautkan alis, lalu menimang-nimang pergi ke sana atau tidak. Kalau dia tidak kesana, ia yakin besok dia akan dibully pengecut, dan Chiara serta Diandra dan Meta benar-benar akan melabrak orang itu dan berantem dan masuk BK dan ...

Ah, pokoknya dia harus kesana agar tidak terjadi masalah lebih lanjut!

***

Chiara menempelkan ponselnya ke telinga untuk mendengarkan musik favoritnya. Sebab SMP mereka tidak boleh membawa headset. Chiara mendapati Meta dan Diandra dengan Devani.

"Ciao!" Sapa Chiara.

"Nih, lama banget!" kata Meta.

Devani diam saja tidak merespon apa-apa. Raut wajahnya juga cemas.

"Jadi kan, sekarang?" tanya Diandra. Chiara mengangguk. "Jadilah."

"Trus, Ninda kemana?"

"Oh itu, tadi dia ngangkat telepon."

"Gitu." kata Devani. "Gue ada ngomong penting ke kalian. Ini tentang Sintya."

"Oh! Nggak penting sih, buat gue." ucap Chiara. "Bukan urusan gue kalo menyangkut cewek centil, cabe, nggak tau terima kasih itu."

Devani menggeleng. "Nggak, bukan cuma Sintya. Ini nyangkut Dikta juga."

Chiara menatap Diandra dan Meta. "Itu baru urusan gue."

Devani menghembuskan nafas resah. "Tadi... gue nggak sengaja denger."

"Denger apa?"

"Sintya...."

"Apa?" tanya Meta.

"Sintya bilang kalau Ninda itu PHO di hubungan Dikta sama dia."

"HAH?!" sentak Diandra, Chiara, dan Meta.

Devani mengangguk. "Dan gue juga nggak tau kenapa alesannya."

"Tai emang cewek cemburuan." umpat Chiara. CATAT! Ini kali pertama Chiara mengumpat untuk cewek!

"Widih; tumben bilang tai," kata Meta. Chiara menutup bibir.

"Eh, iya. Khilaf." Chiara tertawa.

"Ini bukan saatnya bercanda gais." kata Devani serius.

"Oke-oke." kali ini masih bercanda.

"Gue juga denger, dia mau ngajak pasukan--"

"HAHAHA! PASUKAN APAAN? GENG CABE-CABEAN YANG LEBIH MURAH DARI CABE PASAR? HA, GUE SAMBELIN JUGA TUH MULUT!" maki Meta dan Chiara dengan suara keras. Diandra saja sampai menutup telinga. Kemudian mereka tertawa, mengabaikan Devani yang melotot sambil mengacak rambut.

"Isssh!" ucap Devani frustasi. "MEREKA MAU NGELABRAK NINDA!

Sontak semua diam.[]

***

Sekretaris VS Berandal [Completed]Where stories live. Discover now