Bagian 23

1.7K 93 1
                                    

Ninda mengerjapkan matanya berulang kali sebelum memutuskan untuk berbalik badan hendak kembali pada Chiara yang bertampang cengo. Mengabaikan dia seperti dia mengabaikan Ninda dulu.

"Ninin,"

Ninda tersentak dengan panggilan itu. "Jangan panggil gue dengan nama itu, meskipun dulu gue yang minta."

"Ninda, gue perlu elo sekarang."

Ninda berdecih. "Baru sekarang pas elo butuh nyari gue? Basi tau, nggak."

Chiara mengerjap menyadarkan diri dari lamunannya, lalu berjalan menghampiri Ninda. "Nin, coba temui dia. Mungkin dia perlu bantuan dari elo, darurat."

Ninda menggeleng. "Dia cuma dateng pas dia butuh. Bahkan yang itu nggak bisa dianggep temen."

Chiara mendengus pelan, lalu menatap cowok yang berdiri di ambang pintu dari depan Ninda. "Pergi dulu. Ntar LINE gue,"

Cowok itu pun mengangguk dan pergi begitu saja.

Ketika itulah pertahanan Ninda runtuh. Dia terisak dan perlahan menangis. Chiara dengan cepat memeluk sahabatnya, menepuk-nepuk punggungnya.

Chiara mengerti perasaan Ninda setelah dicampakkan dua tahun lalu.

Meta melotot dan segera menghampiri Ninda yang menangis di depan kelas. Begitu juga dengan Diandra. Yoga menganga, mendadak tolol karena sekretarisnya yang terkenal sangar itu menangis, di depan kelas.

"Udah, Nin, iya udah ya," ucap Chiara menenangkan. Ninda sudah tersedu-sedu di pelukan sahabatnya. Diandra menyodorkan minum pada Ninda. Meta menenangkan dengan kata-kata andalannya.

"Dia... hiks.. dia ngeruntuhin pertahanan gue.. hiks.. hiks... Dia nggak tau.. hiks.. apa, kalo gue...hiks... berusaha keras bu.. hiks at ngelupain dia..."

"Iya, Ninda. Semua cowok emang gitu,"

Yoga yang entah sejak kapan ada di samping Chiara berdecak. "Siapa juga itu anak main dateng bikin kelas gue nangis,"

"Dia itu...." ucapan Diandra terpotong.

"Dia." ucap Chiara penuh penekanan. "Yang udah bikin Ninda nangis nggak jelas pas kelas tujuh, bikin Ninda sering marah-marah nggak jelas pas kelas delapan. Dia. Orang yang matahin hati Ninda."

Ninda menangis keras-keras setelahnya. Potongan memori yang hampir berhasil dia lupakan muncul begitu saja.

"Kenapa lo selalu bikin gue merasa kesal? Kenapa lo selalu bikin gue merasa sendiri?
Lo pacar gue bukan?!" ucap Ninda kala itu. Ketika Ninda kali terakhir bertegur sapa dengannya. Anak yoga yang menarik perhatiannya.

"Gue nggak pernah bikin lo sedih. Lo sendiri yang ngerasain sedih, dan itu bukan karena gue. Elo yang milih gue, kalo lo sedih itu resiko elo,"

Ninda tidak percaya dengan jawaban cowok di depannya ini. "Jadi... selama ini lo nggak pernah menyimpan perasaan sama gue?" tanyanya lirih.

"Gue nggak maksud gitu, Ninda."

"Jelas-jelas kalimat lo bermakna itu." kata Ninda. "Ternyata yang selama ini gue anggap milik gue, nggak punya rasa apapun sama gue,"

Ninda meninggalkan cowok itu yang diam saja. Ninda berdecih, berarti kata-katanya benar. Dengan hati retak yang hampir pecah, dia meninggalkan cowok itu sendiri.

Potongan memori sialan itu muncul tiba-tiba saja di kepala Ninda. Membuatnya terisak semakin hebat. Chiara bingung bagaimana sahabatnya bisa serapuh ini.

HP Chiara bergetar, memunculkan notifikasi. Dia menepuk bahu Ninda sekilas, lalu merogoh HPnya di saku. Matanya membulat kala melihat pesan itu.

Wikan Sidhi : Lo, gue, Ninda, dan bbrp anak yoga inti, latian ntar jam 2 sore. Gw hrp Ninda dateng.

Chiara tidak percaya. Bagaimana hubungan sahabatnya bisa serumit di novel-novel?

Setelah dua tahun tidak bertemu dia --karena tidak ada latihan yoga --tiba-tiba saja anak itu menginformasikan latihan yoga yang melibatkan Ninda dan dirinya. Kalau begini, bisa-bisa tiap latihan Ninda menangis.

Menangis karena latihan yoga ini membangkitkan kenangan Ninda pada dia, Wikan Sidhi Ananta. []

***

Sekretaris VS Berandal [Completed]Where stories live. Discover now