Bagian 24

1.8K 106 1
                                    

Chiara menatap Meta dan Diandra yang menatapnya bertanya. Chiara menghela nafas, lalu tersenyum manis pada Ninda.

"Nin, ntaran ada latihan yoga. Dateng, yuk?"

Ninda menggeleng-geleng cepat. Latihan yoga, itu cukup membangkitkan kenangan akan Wikan. Bagaimana dulu mereka satu kelompok, kemudian bagaimana Ninda jatuh hati pada cowok itu, dan yang paling parah bagaimana cowok itu mencampakkannya di ruang latihan.

"Gue nggak mau." ucap Ninda tegas di sela-sela tangisnya.

Chiara memegang bahu Ninda, menatap manik mata Ninda yang lebih rendah daripada Chiara. "Ninda, elo nggak bakal biarin tim Nawanatya Yoga kalah cuma gara-gara kenangan brengsek lo itu, kan?"

Ninda tersentak menyadari hal itu. Dia tidak bisa membiarkan Nawanatya Yoga kehilangan satu personel yaitu dirinya, hanya karena Ninda egois. Tidak, tidak, Ninda tak akan melakukan itu.

Dengan hati mantap dia akhirnya mengangguk. "Ya udah, deh. Lagian, gue harus bisa move-on dari Wikan. Gue nggak bakal nangis selama latihan."

Chiara, Meta, dan Diandra tersenyum melihat keteguhan hati Ninda. Tadi boleh goyah, tapi sekarang tidak. Ninda yang tegar dan kuat harus kembali.

Sementara itu, Dikta merasa sedikit aneh. Kenapa dia memikirkan kemungkinan Wikan akan mengambil Ninda lagi? Memikirkan hal itu membuat hati Dikta terasa tertusuk. Apalagi ketika mendengar Tifa mengatakan sesuatu, emosinya memuncak.

"Halah, drama banget lo nangis kayak di novel-novel,"

Dikta melotot pada Tifa. Entah kemana Dikta yang akan dengan senang hati menimpali ledekan Tifa pada Ninda. "Lo lebih alay! Ada yang nyanyiin lagu baper aja, lo nangisnya tiga hari!"

Tifa mendelik tak percaya pada Dikta. "Maksud lo apa ngomong gitu?!"

"Ya lo ngaca! Bilang Ninda alay, eh, taunya elo sendiri lebih alay!" ucap Chiara pedas.

"Iya! Nangis tiga hari cuma gara-gara lagu baper? Cuih!" Meta menimpali.

Wajah Tifa memerah. "Dikta, gue nggak nyangka elo belain musuh terbesar pacar lo sendiri!"

"Pacar? Siapa pacar gue?" tanya Dikta sinis. Eh, tunggu dulu.

Aduh.

G
A
W
A
T

Dikta salah ngomong!

Tifa membulatkan matanya tidak percaya. "Lo nggak nganggep Sintya cewek elo? Oh, sekarang gue tau kenapa Sintya bilang lo sama dia agak lost-contact. Kayaknya, elo naksir musuhnya dia!"

Dikta menggelengkan kepalanya. "Gue nggak suka sama Ninda! Titik! Gue bilang gitu karena gue kesel sama elo!"

Tifa mencibir, lalu berkata. "Bakal bagus kalo Sintya tau, sekalian aja dia mutusin elo."

Otak Dikta sudah memberontak dengan kata-kata Tifa. Namun jauh di lubuk hatinya bersorak senang.

Ada apa ini?

Tapi seketika berubah jadi cemas saat Tifa mengatakan. "Apalagi kalau Sintya sama gengnya ngebully Ninda. Hmmm.. bagus kayaknya."

Chiara mengepalkan tangannya mendengar ucapan Tifa. "Bilang apa lo tadi?!"

"Wakil kok budek."

Yoga terlihat menahan tawanya mendengar wakilnya dikatakan budek. Meta melotot padanya membuat cowok itu mingkem.

"Asal lo berani ngebully gue, lo tau akibatnya. Gue cukup bisa karate buat bikin lo sama Sintya, serta geng-geng cabe lo itu babak belur." ucap Ninda tegas.

Dikta kagum pada sosok gadis sangar di depannya ini. Walau selalu menyebalkan dengan dia mengomeli Dikta melulu di tempat duduk, tapi Dikta menyukainya.

Dan tak butuh waktu sembilan detik bagi Dikta untuk mengetahui, bahwa hatinya jatuh pada sosok sekretaris 9A, Ninda. Terbukti dari debar jantungnya yang melebihi ritme sesungguhnya saat melihat Ninda tersenyum padanya. []

***

Sekretaris VS Berandal [Completed]Where stories live. Discover now