Prolog

54K 4.6K 227
                                    

Hujan turun sangat lebat. Rintiknya berlomba-lomba jatuh di atas tanah, membuat lingkungan menjadi lembab dan becek oleh genangannya. Langit yang menggumpal gelap ditambah embusan napas angin bersama suara gemuruh petir yang saling bersahutan seolah bersekongkol membuat suasana semakin mencekam.

Malam itu jarum jam menunjukkan pukul 00.00 di kawasan Black Pearl Residence. Tepatnya di lantai 4, ada seorang gadis yang tengah menangis. Ia berkali-kali memohon kepada ibu tirinya agar tidak membunuhnya.

Namun, percuma. Mau seberontak apa pun, gadis itu tetap tak bisa melepaskan diri. Sementara itu, ibu tirinya sudah melayangkan tatapan iblis dengan memegang sebilah kapak di tangan kanannya. Seolah siap merebut nyawa anaknya kapan saja.

Dingin. Angin malam yang menembus kulit hingga tulang rusuknya membuat gadis itu sedikit menggigil.

Gadis itu menjerit takut, ia berteriak minta tolong. Nahas, usahanya sia-sia. Lagi pula ini sudah larut malam, semua penghuni di Residence pasti telah tertidur.

Langkah gadis itu mundur ke bekalang dengan gerakan tertatih-tatih. Namun, kakinya yang tak sengaja tersandung lantai membuat tubuhnya oleh hingga terjatuh ke belakang. Sialan. Ia semakin sulit untuk bergerak bebas.

"Tolong katakan ... apa salahku padamu, ibu?" Gadis itu kembali bertanya dengan detak jantung yang berpacu cepat. Kedua tangannya yang dingin memeluk lutut semakin erat. Bibir tipisnya bergerak, terlihat ada sesuatu yang ia ingin katakan lebih. Namun, percuma saja, lidahnya terlalu kelu untuk berucap.

Gadis itu menggeleng seraya memejamkan kedua mata rapat. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Jarak ibunya semakin dekat.

"Aku mohon, ibu," pintanya penuh harap. Sayangnya wanita yang ia panggil dengan sebutan ibu itu justru tidak menggubris permohonannya.

Kini wanita yang dipanggil ibu itu berdiri lima langkah dari hadapan anaknya. Ia menyunggingkan senyum licik lalu menempelkan kapak pada leher anaknya.

Logam bertangkai panjang itu tiba-tiba mengayun di udara dan melesat cepat menebas leher jenjang seorang manusia, mengakibatkan cairan merah beraroma besi karat merembes dengan segar begitu saja. Tanpa perlawanan fisik, gadis itu langsung jatuh terpuruk bersimbah darah. Matanya yang tadi terbelalak karena terkejut perlahan berubah menjadi sayup. Sensasi nyeri dan aneh seketika menyelimuti dirinya.

Setelahnya, hanya kegelapan yang ia rasakan di antara dinginnya malam.

***

Sementara itu di tempat lain ...

Kediaman rumah keluarga Parikesit nampak sunyi malam itu. Tak ada satu pun lampu ruangan yang dinyalakan, pertanda semua penghuni sudah beristirahat dan terlelap dalam mimpinya masing-masing.

Namun, ada satu ruangan yang mendadak terang. Cahaya lampu dari meja belajar telah dinyalakan.

Ada seseorang yang berusaha mengatur napasnya. Ia mengubah posisi tidur menjadi duduk tanpa melepaskan kedua cengkraman tangannya dari selimut.

Raut wajah gadis itu terlihat panik dan takut. Padahal di luar sedang hujan, tapi nyaris seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

Sebelah tangan gadis itu menepuk pipi dengan pelan, ia meringis sesaat lantas menurunkan tangannya kembali.

"Kenapa rasanya itu kayak kejadian beneran, ya? Tapi ... kok, mimpi gue hari ini aneh banget. Serem," gerutunya pada diri sendiri sambil bergedik ngeri. Gadis itu melamun, melempar ingatan pada beberapa menit lalu, lebih tepatnya kejadian dalam mimpi.

Entah mengapa ia merasa ada yang janggal. Namun, ia tak tahu perasaan apa itu.

Tanpa pernah ia ketahui, bahwa mimpi itu sebenarnya adalah nyata.













Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Место, где живут истории. Откройте их для себя