Part 9

13.9K 1K 55
                                    

Aku memijat pelan pelipisku. Merasa cahaya dari jendela perlahan-lahan hilang, aku menoleh. Hari semakin menjelang petang, mungkin sebentar lagi lantai ini akan berubah menjadi gelap kembali.

Tanganku menepuk dahi, teringat jika aku meletakkan ponsel di saku celana. Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan fungsi benda canggih itu? Mengapa tidak dari tadi aku menggunakannya sebagai sumber penerangan?

Akhirnya aku memutuskan untuk menutup akses jendela hingga cahaya dari matahari sore tak lagi menyinari ruangan. Jemariku memencet simbol senter yang ada di ponsel, membuat cahaya putih dari benda pipih itu muncul. Jumlah yang diterangi mungkin tak sebanyak cahaya yang didapat dari jendela tadi. Namun, sinar dari ponsel jauh lebih jelas dan bersinar untuk melihat objek yang ada.

Aku melangkah ke depan dengan hati-hati. Dua sudut mataku menyipit kala melihat sebuah benda cukup besar ada di tengah-tengah ruangan. Aku mengarahkan ponsel agar sinar senter bisa mendeteksi benda itu lebih jelas, ternyata sebuah sofa. Warna sofa itu ... entahlah, seperti cokelat, tetapi juga terlihat abu-abu.

Kakiku yang semula diam perlahan agak mundur ke belakang saat aku menyadari ada yang bergerak di dekat sofa.

Aku menggigit bibir bagian bawah. Takut, tapi pada akhirnya aku tetap melanglahkan kakiku ke sofa yang berada tak jauh di depanku. Tangan kananku gemetar takaruan, memberanikan diri untuk menepuk sosok yang membelakangiku itu.

Ternyata Kak Jessie!

Ah, sial! Ternyata dia adalah kakakku! Ck! Kenapa juga aku bisa lupa jika aku pergi ke sini bersamanya?

"Ngapain lo di sini, hah!?" tanya Kak Jessie, tangannya cekatan menekuk-nekuk kardus yang berceceran di depannya. Ternyata ia di sini sedang mencari kardus. Entah hanya kebetulan atau memang Kak Jessie berusaha keras mencari, tapi aku melihat lumayan sekali ada banyak kardus yang tergeletak membisu di lantai.

"Eh? Eng ... enggak ... kok. Ck, lo udah selesai cari kardusnya belum?" tanyaku gelagapan, langsung cekatan mengalihkan pembicaraan.

"Mata lo buta atau gimana? Ya jelas belum. Masih banyak kardus yang harus gue lipet, soalnya ada banyak buku gue yang harus di kardusin. Lo kalo misalnya mau pulang, ya udah, pulang aja, sih! Lagian siapa suruh ikut-ikut gue ke sini!" cecar Kak Jessie, ia masih sibuk berkutat dengan kardus yang ada di depannya tanpa menoleh ke arahku. Namun, aku yakin jika air mukanya sekarang terlihat dongkol karena pertanyaanku barusan.

"Ck! Geer banget, sih! Siapa juga yang nungguin lo," sahutku tinggi. Padahal tadinya aku berniat membantu Kak Jessie, sayangnya batal akibat respon tak ramah darinya. Huh! Aku jadi malas untuk membantunya.

Atmosfer sekitar hening sesaat. Kak Jessie memutar kepalanya, menengok ke arahku dengan tatapan mata mengintimidasi. Dasar, untung saja dia adalah kakak kandungku.

"Hmmm ... ngomong-ngomong, lo di sini sempat nyium bau asap gak, Kak?" tanyaku hati-hati setelah beberapa detik hanya diisi oleh kesunyian.

Pertanyaanku membuat Kak Jessie menghentikan kegiatan melipat kardus.

"Nyium tadi sih, emang ngapa?" jawab Kak Jessie santai, seolah itu bukan suatu hal janggal yang patut dicurigakan.

"Lo tau gak, Kak. Asal asapnya dari mana?" tanyaku pelan. Kuharap Kak Jessie tidak menanggapinya dengan jutek atau bahkan tak merespon pertanyaanku.

Kak jessie menunjukkan tangga melingkar yang terletak di sebelah pojok kiri dengan jari telunjuknya tanpa mengucap sepatah kata. Untungnya ia masih mau merespon meski sepertinya enggan mengeluarkan suara untukku.

Retina mataku mengikuti arah jari telunjuk Kak Jessie. Jadi ... lantai 4 ini tingkat 3?

Aku melirik ke tangga melingkar berwarna hitam pekat itu. Rasanya merinding sekali saat melihatnya. Apakah ada sesuatu di sana?

Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now