Part 39

7.6K 501 7
                                    

"Kak Jessie!"

"Kak Jessie!"

"Kakak!"

Berkali-kali aku memanggil namanya di dalam gudang, berteriak layaknya orang gila. Bahkan aku tak peduli lagi dengan minuman beralkohol yang sudah menjadi pecahan beling menyakiti bagian telapak kakiku.

"Kak Jessie," panggilku lirih.

Brak!

"Ella!"

Seseorang memanggil namaku, nadanya hampir menyerupai bentakan. Dari ambang pintu ia mendekatiku yang sedang berjongkok.

"Ella," Ia berjongkok mengikuti posisiku, tangannya bergerak menyapu sebagian pecahan beling yang menempel di telapak kakiku.

"Abay." Aku memanggil namanya sesegukan.

"Apa? Heh, lo nangis? Kenapa Ella?" Abay mengangkat daguku hingga aku bisa menatap kedua bola matanya.

"Kak Jessie di mana?"

"Kak Jessie?"

Abay mengalihkan muka dari kontak mataku. Ia membaca tulisan demi tulisan bercak darah yang ada di hadapannya.

"Dia akan mati?" Abay berhasil mengejanya dengan gerakan bibir komat-kamit.

"Abay, Kak Jessie di mana, Bay?" aku bertanya padanya. Tak peduli pada penampikanku yang kacau, aku menangis sesegukan di depan Abay. Aku hanya ingin tahu keberadaan Kak Jessie.

Abay tak menanggapi ocehanku. Ia malah mengamati sekitar, seolah ingin mencari sesuatu.

"Bulan purnama." Abay melihat bulan purnama yang bersinar terang dari kaca jendela gudang.

Aku tak ingin tahu hal itu. Aku hanya ingin tahu dimana Kak Jessie.

Tidak!

Aku harap dugaanku tidak benar!

Aku harap itu tak terjadi!

"Udah berapa kali bulan purnama muncul semejak Kak Jessie sesajen di lantai 4?" Abay bertanya padaku.

Aku mengangkat tangan hingga membentuk huruf 'V' yang artinya sudah dua kali bulan purnama itu muncul.

"Minggu lalu dan sekarang," jawabku lesu sambil mengacungkan tangan ke arah kaca jendela gudang, tepat di mana bulan purnama itu ada.

Aku tahu jika Abay ingin mengatakan sesuatu, sayangnya semua itu harus buyar dalam sekejap karena kami berdua mendengar suara jeritan. Bukan, bukan jeritan dari dalam rumah ini ... melainkan dari lantai 6!

"Kak Calvin!" Aku berdiri dari dinginnya lantai keramik gudang, berlari ke lantai 6. Telapak kakiku yang sangat perih akibat pecahan beling kuabaikan begitu saja. Aku tidak peduli.

Tidak!

Aku mohon jangan!

Jangan Kak Calvin!

Napasku memburu, tapi egoku memerintah untuk terus berlari. Aku mendengar suara seseorang yang meneriakiku berkali-kali. Ia mengejarku tak kalah cepat.

"Ella!"

"Ella, tunggu gue, Ella!" Abay tak sudah meneriakiku dari belakang, tapi panggilannya tidak kutanggapi.

Aku sampai di pintu lantai 6. Tanpa takut tanganku memutar knop pintu.

Cklek!

Cklek!

Cklek!

"Kak Calvin! Kak Calvin, gue Ella!" kataku lantang, menggedor-gedor pintu lantai 6.

"Kakak! Kak Calvin!"

Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now