Part 12

12.5K 885 13
                                    

Aku mulai membuka kedua mata yang terasa lengket. Hal pertama kali kulihat adalah tembok bernuansa biru. Ini adalah kamarku. Kepalaku sedikit berdenyut, mengapa pusing sekali?

Aku melirik sekitar, bingung dengan apa yang terjadi. Sungguh, aku tak bisa mengingat apa pun.

Badanku yang terbaring kini kusandarkan pada kepala ranjang. Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk, aku melihat nenek Ana dan Abay tengah berjalan ke arahku. Abay membawa sebuah nampan di tangannya. Namun, aku tak bisa menghetahui dengan jelas apa isi nampan itu, hmmm ... sepertinya ada gelas dan sebuah piring.

Pusing di kepalaku kembali kambuh, sesaat roh tentang Mery yang memasuki tubuhku terngiang begitu saja. Sepertinya aku mulai ingat apa yang terjadi.

"El, lo udah sadar? Nih, minum dulu," kata Abay seraya memberikan segelas air putih untukku, ia juga membantuku untuk meneguknya karena nampak kesusahan.

"Makasih, Abay." Aku memaksakan sedikit senyum di wajah usai Abay menolongku untuk minum. Lelaki itu meresponnya dengan anggukan kecil.

Sebenarnya aku tidak haus, tapi tenggorokanku ini memaksakan untuk memasukkan sesuatu ke dalamnya.

Abay meletakkan gelas beserta mangkuk berisi bubur di nakas meja. Ia melirikku sebentar.

"Buburnya masih agak panas, nanti kalo udah anget jangan lupa lo makan, ya," katanya.

"Iya, makasih banyak, Abay. Maaf ngerepotin," ujarku sedikit tak enak.

"Gak masalah, Ella." Abay tersenyum simpul.

Selang beberapa detik, nenek Ana mulai membuka pembicaraan.

"Untuk apa kamu pergi ke lantai itu, Nak Ella? Bukankah sudah aku ingatkan kalau nekat pergi ke sana akibatnya akan fatal?" tanya beliau, berusaha lembut. Aku tahu jika nenek Ana menahan emosinya. Mungkin sekarang nenek Ana sedang marah karena aku telah lancang masuk ke lantai itu, padahal aku sendiri sudah tahu resikonya.

"Ella gak ada niat buat pergi ke sana, Nek. Tadinya Ella cuma mau nolong Kak Jessie aja," ungkapku jujur.

"Untuk apa kakakmu berada di sana, Nak?" tanya nenek Ana, mengintrogasi.

"Kak Jessie bilang dia mau cari kardus bekas buat ngumpulin buku-bukunya yang udah gak dipake lagi. Padahal Ella bilang jangan pergi ke lantai 4, tapi Kak Jessie tetep aja keras kepala, makanya Ella kejar." Aku sempat memberi jeda di kalimatku.

"Ella sempet takut waktu tau kalau lantai 4 itu ternyata tingkat 3, keliatannya ruangan di sana gelap banget. Kak Jessie terus-terusan ngeledek Ella, dia bilang kalau di sana gak bakalan ada setan. Buat buktiin Ella, dia tarik tangan Ella sampai ke tingkat 3 itu." Aku menghembuskan napas untuk melanjutkan bercerita, sebenarnya semejak sadar emosiku sudah di ubun-ubun, mengingat Kak Jessie yang susah sekali untuk percaya dengan makhluk halus. Tapi kali ini aku harus bisa mengontrolnya di depan nenek Ana.

"Di tingkat 3 itu cuma ada satu pintu dan sekotak jendela. Tadinya Kak Jessie juga hampir nyerah buka pintu itu soalnya ... ada banyak puluhan kunci yang harus dia coba, sampai akhirnya Kak Jessie nemuin kunci yang pas." Aku berusaha menggunakan ingatan yang ada di kepala.

"Ella liat di ruangan itu bentuknya bukan persegi, bukan juga persegi panjang, ruangan itu bentuknya segitiga. Di pojok depan ruangannya ada berbagai alat yang biasa digunakan untuk sesajen. Sekarang Ella yakin kalo selama ini asap sajen yang sering tercium pasti asalnya dari ruangan itu," seruku agak menggebu.

"Kak Jessie nyuruh Ella buat tutup mata sambil doa. Ella sempet ragu dan gak mau, tapi Ella liat kak Jessie udah mulai doa. Ella nyaris aja ikutan," lanjutku mengingat kejadian tadi, betapa bodohnya aku menuruti perintah Kak Jessie.

"Tapi ... pas Ella mulai tutup mata, tiba-tiba ruangan itu getar, kayak diruntuhin gempa bumi. Ella yang sadar langsung narik tangan Kak Jessie buat ngejauh dari latai itu. Ella liat di depan pintu utama lantai 4 masih kebuka, Ella langsung ngibrit buat keluar, padahal tinggal sedikit lagi, tapi pintu lantai 4 itu udah ketutup sendiri, dan sialnya lagi pintu itu gak bisa dibuka."

Suasana lengang sejenak. Baik nenek Ana atau Abay belum membuka suara. Ingatanku tentang peristiwa di lantai 4 tadi kembali utuh. Tak hanya itu, aku juga ingat kalau Mery berhasil mengendalikan tubuhku untuk sesaat sebelum akhirnya makhluk itu pergi karena kalung yang dikenakan Abay.

"Makasih ya, Bay. Kalo gak ada lo mungkin tadi gue sama Kak Jessie udah ...." Aku tak tahu kenapa sangat sulit rasanya mengucapkan kalimat itu, lidahku kelu di ujung.

Abay mengangguk, mengerti maksud ucapanku tanpa perlu diperjelas, pun nenek Ana.

"Sebenarnya ... siapa saja tidak dilarang untuk masuk ke dalam rumah itu." Nenek Ana mulai berbicara kembali.

"Asalkan ada syaratnya, bahwa siapa saja yang datang ... mereka tidak diizinkan untuk membuka pintu tingkat 3. Jika mereka membukanya, bahkan melakukan sesajen di tempat itu maka resiko yang harus ditanggung sangat tinggi." Nenek Ana melanjutkan ucapannya

Mungkin ini akan menjadi informasi terbaru dariku. Aku baru mendengarnya.

"Tempat itu adalah tempat di mana para pengikut sekte setan berkumpul untuk melakukan sesajen, tepatnya memuja iblis mereka." Nenek Ana berkata serius sambil menatap bola mataku.

"Lalu, Nek?" Aku tak sabar menunggu kelanjutan dari penjelasannya. Namun, nenek Ana hanya menggeleng dan tersenyum getir.

"Entahlah, El. Hanya penjelasan itu yang nenek tau. Nenek mencoba untuk mencari informasi lebih dalam, tetapi nenek selalu gagal," jelasnya. Wajah nenek Ana sedikit kecewa.

"Tapi ...." kata nenek Ana memberi jeda.

Huh! Mengapa nenek Ana mirip sekali dengan Abay? Yang jika bicara banyak sekali memberikan jeda, membuat orang lain jadi penasaran setengah mati.

"Mungkin aja ada seeorang yang mungkin bisa memberikan informasi lebih lanjut untuk kita." Nenek Ana melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda.

Seseorang?

Siapa ia?

Apakah ia salah satu kerabat dekat Mery?

"Siapa, Nek?" tanyaku penasaran. Terkadang aku heran, kenapa aku adalah orang yang serba ingin tahu?

Nenek Ana mengukir senyum di bibirnya, membuat lekukan garis-garis di wajahnya ikut tertarik, beliau memegang lembut tanganku dan menggenggamnya.

"Besok kamu akan tau siapa orang itu, Ella. Semoga aja dia bisa luangin waktunya buat ketemu sama kita."

Abay yang cukup lama menjadi patung pendengar menunjuk dirinya sendiri. "Abay diajak gak, Nek?" tanyanya agak sedih.

Nenek Ana menoleb ke Abay. "Iya, Abay. Tenang aja, kamu juga bakalan nenek ajak kok."

Aku terbahak menyaksikan sikap Abay sekarang, sekilas mataku tak sengaja melihat kalung yang dikenakannya. Kalung itu adalah penolong yang sangat berarti bagiku.

"Emmm ... Abay?"

"Iya? Kenapa, El?"

"Kalung punya lo ... boleh gue pegang?"

"Boleh, Ella." Abay melepaskannya dari leher lalu memberikannya padaku.

"Itu kalung peninggalan dari ibu gue. Dulu, kata ibu kalung itu bisa berguna. Awalnya gue cuek dan gak percaya. Tapi, belum lama ini gue baru tau kalo ternyata kalung itu bisa ngusir makhluk halus, makanya tadi gue pake buat ngeluarin roh Mery dari tubuh lo."




















Follow Ig : oh.arabicca

See you😘




Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now