Part 10

13.5K 926 10
                                    

Ternyata orang yang menolongku adalah Abay. Dengan cekatan Abay membawaku dan Kak Jessie menjauh dari lantai 4, mencari tempat yang aman hingga akhirnya kami berlindung di lantai 3 yang tak lain adalah rumah Abay.

Usai mengamankan kami di dalam ruangan, Abay langsung mengunci pintu rumahnya-rapat, bahkan akses jendela pun ikut dikunci. Mungkin untuk memastikannya agar kami aman bersembunyi di sini. Sekilas aku mengamati penampilan Abay, tampak kacau dengan deru napas yang tak beraturan.

"El! Lo udah gila apa?! Ngapain lo ke sono, hah!? Lo sendiri udah tau akibatnya kalo lo berani macem-macem di lantai 4!" cerocos Abay panjang lebar, sesekali ia menyeka keringat yang bercucuran di wajah dengan kaus oblong yang dikenakannya.

Aku yang mendengar perkataannya hanya bisa menunduk sambil memainkan jari-jari jentikku, ekor mataku melirik Kak Jessie yang berada di samping dengan keringat dingin yang tersisa di tubuhnya.

Sungguh! Aku juga bingung sendiri ... mengapa aku menurut saja dengan ajakan bodoh Kak Jessie tadi? Bukankah aku sudah menghetahui akibatnya jika berbuat macam-macam di lantai 4 itu? Penghuninya boleh jadi akan membunuhku. Entahlah ... aku juga bingung. Rasanya tadi seperti ada orang yang menggerakkan tubuhku begitu saja.

"Kalo tadi Abay gak nolongin gue, mungkin ...."

"Kalo tadi gue gak nolong lo dan kakak lo, mungkin kalian berdua udah dibunuh sama iblis berdarah dingin itu!" potong Abay, seakan menghetahui apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.

"Tolonglah ... lagian ngapain sih, lo berdua ke sana? Kurang kerjaan banget, deh!" Abay terus menumpahkan kekesalannya secara terang-terangan.

"Maap banget gue jadi emosian kayak gini. Tapi ... gue begini juga karena gak mau makin banyak korban yang dijadiin tumbal. Mereka mungkin emang pantes buat mati. Semua manusia juga nantinya bakalan mati, kan? Tapi ... mereka juga harus mati dengan cara yang terhormat, bukan dengan cara menjadi tumbal para sekte setan! Emangnya dosa mereka apa? Sampai alasan kematiannya untuk dijadiin tumbal." Kali ini Abay berbicara dengan intonasi sedikit lebih rendah. Tetapi tetap saja, ada nada amarah yang terselip di setiap tutur katanya.

Raut wajah Abay lebih tenang dari sebelumnya.

"Yang tadi lo liat itu ... kakak gue." Abay memberi jeda di ucapannya. Jemari tangannya mengusap rambut lurus miliknya secara kasar ke belakang.

Deg!

"Kakak ... kakaknya Abay? Apa aku tidak salah dengar? Jadi ... Abay mempunyai kakak laki-laki?" batinku.

Aku belum angkat suara, pertanda memberi kesempatan lebih untuk mendengarkan cerita Abay lebih lanjut.

"Sebenarnya ... dua bulan yang lalu gue pindah ke sini sama kakak gue. Namanya Reyhan Cristian Manansala, tapi biasa dipanggil Reyhan. Waktu pertama kali gue masuk ke rumah ini, firasat gue udah aneh duluan. Tapi gue gak nanggepin dan gak mau ambil pusing, mungkin itu cuma sekedar firasat gue aja." Abay bercerita tanpa menatap bola mataku. Aku yang menatapnya serius bisa menyadari kedua bola matanya kosong, tidak terpancar apa pun di sana saat dia mulai bercerita lebih lanjut.

"Tapi, seminggu setelah tinggal di sini, gue sempat nyium bau asap sajen dan bau amis yang berasal dari lantai 4. Sama kayak lo, El. Sampai akhirnya, waktu itu sekitar jam dua belas malam, gue lagi kerjain PR dan denger ada suara jeritan dari lantai 4. Suaranya mirip banget sama kakak gue, makanya gue langsung ke sana. Kaki gue juga sempet kesandung." Abay tertawa sumbang mengingat peristiwa masa lalunya.

"Gue nemuin kakak gue di tingkat dua, tepat di bawah tangga. Gue nemuin dalam keadaan udah gak bernyawa, El. Matanya terpejam, mukanya hancur, selain itu juga banyak darah di sekujur tubuhnya." Abay bercerita panjang, nampak butiran bening perlahan mulai keluar dari pelupuk matanya.

Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now