Part 11

13.1K 872 15
                                    

Aku menarik napas dalam sebelum bercerita kepada Abay. "Gue sama sekali gak nyangka bakalan masuk ke dalam lantai 4. Bahkan, sampai sekarang gue masih gak percaya tentang kejadian yang baru gue alamin. Padahal sejak tau tentang peristiwa tragis Mery dan keluarganya, gue selalu kasih peringatan ke diri sendiri biar gak masuk ke ruangan mengerikan itu," tuturku jujur. Aku berbicara sedikit menunduk, belum berani menatap iris mata Abay.

"Terus?" tanya Abay kala beberapa menit setelahnya aku tak kunjung melanjutkan cerita.

"Kak Jessie ... awalnya gue cuma mau nahan dia buat gak pergi ke ruangan itu, tapi yang terjadi sebaliknya. Seperti yang lo liat, malah pada akhirnya gue masuk ke ruangan itu." Sedikit sulit berbagi cerita tentang apa yang terjadi, tapi untungnya aku bisa menyusun kata dengan baik. Aku harap Abay yang mendengarkan bisa mengerti tanpa perlu kujelaskan ulang.

"Dan ... lo gak berhasil cegah kakak lo buat gak masuk ke ruangan itu? Termasuk nahan diri lo sendiri?"

Aku menggeleng. "Bukan gitu maksud gue, Abay. Gue mungkin emang gak berhasil batalin niat Kak Jessie. Tapi ... gue masuk ke sana karena mau jagain Kak Jessie, gue mau nemenin kakak gue, Abay. Meski ... ya, seperti yang lo liat, kakak gue orangnya nyebelin. Bahkan aslinya lebih parah. Cuma ... tetep aja, dia kakak gue. Pergi ke lantai 4 sendirian bukan ide yang bagus." Kepalaku yang semula agak menunduk kini terangkat.

"Mungkin emang salah gue juga yang terlalu sibuk ngeliat kondisi ruangan lantai 4. Harusnya pas masuk ke sana gue tetep bertekad buat bujuk Kak Jessie keluar." Aku mengepalkan tangan sembari merutuki diri sendiri dalam hati. Memang bukan sepenuhnya salahku, tetapi aku ikut ceroboh dalam hal ini.

"Kalo lo jadi gue ... mungkin lo bakal ngelakuin apa yang gue lakuin, Abay. Tanpa dibanding-bandingin pun, sebenernya kita berdua udah sama-sama tau kan, gimana rasanya? Ah, maaf kalo omongan gue jadi bikin lo keinget kakak lo. Gue gak bermaksud begitu, Abay."

"Gak papa, Ella. Santai aja," sahut Abay tenang, walau kutahu ekspresinya sempat berubah ketika aku berbicara.

Jarum jam terus berputar. Aku menceritakan apa yang terjadi kepada Abay tanpa ada yang sengaja kulebihkan atau kukurangi. Abay juga menanggapinya dengan bijak begitu menyimak ceritaku. Sebenarnya aku menyukai sikap Abay saat berusaha menjadi pendengar yang baik. Laki-laki yang sering bercanda itu menjadi lucu di mataku ketika diam tak bersuara dengan mimik wajah serius yang tengah memerhatikan pelaku pembicara. Abay yang sekarang nampak lebih dewasa ketimbang dengan sifat usilnya.

Langit yang tadi kulihat berwarna jingga kemerahan kini sudah berganti menjadi biru gelap. Tak terasa perbincanganku dengan Abay ternyata memakan waktu cukup lama. Sebelum kembali menghuni lantai 5, aku meminta izin kepada Abay untuk melihat setiap ruangan yang menjadi tempat tinggalnya ini. Setelahnya, Abay mengantarkanku pulang sampai ke depan pintu.

Awalnya aku menolak dan berkata bisa pulang sendiri, tapi lelaki itu tetap batu dan bersikukuh ingin menemaniku pulang. Katanya sih, sekalian memastikan jika aku benar-benar pulang dengan selamat.

"Sumpah, gue jadi gak enak sama lo. Padahal kan, gue bisa pulang sendiri. Lagian kita cuma beda lantai aja," ungkapku.

Sementara orang yang kuajak bicara hanya merespon dengan mengangkat kedua bahu. Benar-benar menyebalkan.

"Diajak ngomong responnya malah gak jelas kayak gitu. Emang minta ditabok pake sendal kayaknya lo." Aku nyinyir sambil memutar bola mata malas.

Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now