Part 50

9.7K 531 18
                                    

Hujan turun sangat deras. Tepatnya, di lantai 4 mereka berkumpul dengan sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu. Di atas meja tersebut ada beberapa barang yang digunakan untuk astral projection. Mungkin, bagi kalian yang berasal dari Jawa sering menyebutnya sebagai muksa.

Di mana, dalam kasus ini kalian bisa melepas roh dari tubuh. Tubuh yang ditinggalkan benar-benar tidak bernyawa lagi. Tapi, bukan berarti kalian akan mati, karena mati artinya roh akan berada di alam lain. Sementara ini, rohnya hanya terlepas, dan bisa beraktivitas bebas jika sudah bisa mengontrolnya.

Bau asap sajen memenuhi indra penciuman mereka yang mengelilingi meja kayu.

Nenek Ana menyalakan menyan, menghidupkan beberapa lilin agar bisa menghasilkan cahaya penerang.

Sebelumnya ....

⭐⭐⭐

"Ella!"

"Ella!"

Aku dapat mendengarnya! Seseorang memanggil namaku. Tapi, mataku sangat sulit untuk dibuka, berat sekali rasanya.

"Ella!"

"Ella!"

Keringat dingin timbul di sekujur tubuhku. Aku menempatkan kedua telapak tangan yang dingin di bagian kelopak mataku, berusaha untuk membuka pengelihatan dan kembali ke dunia nyata.

"AAA!" Aku berteriak keras seperti orang gangguan jiwa. Aku sendiri tak tahu mengapa bisa teriak. Padahal tidak ada mahkluk halus atau sejenisnya.

"Ella!"

"Ella, buka pintunya!"

"Ella, buka pintunya! Ini susah banget buat didobrak!"

"Ella, kamu dengar kami, kan?!"

Perlahan aku memaksa kedua mata untuk terbuka, rasanya seperti menyabut kertas yang lengket karena tertempel oleh lem. Sempat mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mataku terbuka sempurna. Napasku masih tak teratur, pandanganku tertunduk pada buku agenda Mery yang masih setia termangu di pangkuanku.

Kedua tanganku bergerak menyentuh kertas agenda. Getaran dan keringat dingin menemani rasa takutku. Jujur, aku sangat syok. Apalagi setelah melihat kematian para korban yang tak berdosa karena ulah biadab Laura.

Tanganku membalik lembar berikutnya. Tapi, tidak ada lembar yang tersisa.

Aku menutup agenda itu lalu membalikkan agendanya hingga aku dapat melihat bagian belakangnya.

Berdebu. Itulah kesan pertama yang kulihat saat membalikkan agenda. Debunya sangat tebal, mirip kabut asap. Tanganku mengusap pelan, menghilangkan debu yang menempel hingga saru-saru aku dapat melihat persegi yang memiliki lorong berbahan kaca. Mataku sedikit menyipit untuk melihat bayangan yang ada di dalamnya, seperti sebuah kertas.

Beberapa kali aku mengotak-atik dengan jemari, berusaha membukanya. Sialnya ternyata hanya dengan menggeser kacanya maka lorong itu akan terbuka.

"Ella!"

"Ella!"

Suara dobrakan pintu terdengar berulang kali. Mereka masih berusaha membuka pintu kamar.

"Kak Calvin, Abay, Nenek Ana, Zoey, Mesya, Ella ada di dalam. Ella di sini, tunggu sampai Ella bukain pintunya, oke? Kalian gak perlu panik." Akhirnya aku bisa memberikan respon untuk mereka. Ya, meski suaraku sedikit bergetar.

"Ella, buka pintunya sekarang, El!"

"El!"

Aku menutup kedua daun telingaku rapat-rapat. Aku tak peduli pada mereka yang masih memanggilku.

Penghuni Lantai 4 [TAMAT!]Where stories live. Discover now