Chapter 3

2.4K 267 34
                                    

Jam kosong oh jam kosong, membuatku dilema. Aku suka jam kosong tapi aku sedih pula ketika jam kosong. Kadang aku merasa lelah belajar tapi kadang aku ingat kalau aku harus bekerja keras untuk bisa jadi dokter Timnas Indonesia, sejauh ini belum ada juga dokter Timnas Indonesia yang perempuan.

"Za," panggil salah satu temanku, namanya Elang. "Ini dua kursi dikosongin gini, aku isi ya?" Sambil menunjuk dua kursi di samping dan di belakangku.

"Udah deh, kalau biasanya duduk di depan ya depan aja, kalau mau pindah di belakang sekalian!" Tegasku.

Elang ini sejak kelas X sudah bilang suka padaku, sudah berulang kali aku tolak, sudah berulang kali juga dia kena ancaman Brylian dan Ernando, tapi dia tidak pernah menyerah. Selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan.

Posisi dudukku ada di tengah, barisan nomor 3 dari depan sementara Brylian dan Ernando selalu di belakangku atau samping kiriku, semeja denganku. Entah aturan darimana tapi aku baru sadar 4 hari yang lalu. Brylian dan Ernando selalu bergantian duduk di sebelahku.

Aturannya, jika hari Senin Ernando duduk satu meja denganku, maka Brylian ada di belakang kami bersama dengan Rifai. Dan pada hari Selasa, Brylian akan duduk satu meja denganku sementara Ernando bersama dengan Rifai. Selalu begitu dan mereka agaknya tidak pernah lupa, dari kelas X begitu, anehnya memang aku pun baru sadar.

"Yaelah, Za. Nggak ada dua bodyguard-mu juga," rengek Elang lagi.

"Siapa bilang? Ada kok," jawabku mengeluarkan ponsel.

Hidup di generasi milenial, sekolah tidak lagi seketat dulu. Sedikit bersyukur atas kemajuan teknologi tapi sedikit aneh dengan hilangnya aturan yang mendisiplinkan. Guru bilang ponsel adalah penunjang pelajaran, berbasis IT yang bisa mencerdaskan padahal kenyataannya siswa sibuk chatting di kelas dan bukan lagi sebagai sarana pembelajaran. Okelah kalau jam kosong atau waktu istirahat, tak ada masalah. Beberapa siswa justru waktu pelajaran dimulai. Seperti Rifai yang tak bisa lepas dari ponsel karena pacarnya yang posesif.

Aku menelpon Ernando, dia memang sedang online, dengan panggilan video.

"Heh, pelajaran, Za. Malah ngajak video call," yang berbicara malah Brylian.

"Kok kamu, Sutar kemana?"

"Lagi pup, tencrem dia," katanya sambil tertawa.

Kalau kalian pernah lihat filmnya Bayu Skak yang Yowes Ben, kalian bakalan tahu apa itu tencrem. Ha ha ha.

"Heh, kamu apain lagi dia, Bry, bisa sampai kaya gitu?"

Dulu, waktu baru berkumpul lagi, kelas X, Brylian pernah ngerjain Ernando pakai mie petir. Ernando yang levelnya nggak bisa banyak-banyak, eh dipesenin yang levelnya tinggi. Tiga hari Ernando sampai nggak masuk sekolah, kan usil dia mah.

"Enggak, asli, nggak aku apa-apain," sanggahnya.

"Ngomongin yang jelek-jelek ya?" Tanya Ernando yang sudah kembali hanya dengan celana kolornya dan kaos putih.

"He he he." Tawaku dengan Brylian bersamaan.

"Nggak pelajaran?" Tanya Ernando.

"Jam kosong. Oh iya, ini nih, si Elang mau duduk di tempat kalian, mau minta izin katanya." Aku menunjuk Elang yang berdiri di belakangku.

"Enggak! Enak aja! Sakral tuh! Kalau sampai kamu duduk di situ, tilismu tencrem!"  Ancam Ernando dengan mata sipitnya itu, tidak pantas sekali kalau marah ternyata.

"Nah, jangan macem-macem sama kursi itu ya?!"

Elang mengerlingkan matanya untuk kedua sahabatku.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang