Chapter 45

946 148 18
                                    

Sidoarjo begitu temaram, seperti langitnya hendak marah, tetapi belum waktunya dia jatuhkan hujan. Seperti aku yang ingin marah tetapi tidak tahu hal apa yang membuatku marah. Nando? Dia salah apa? Bahkan dia tidak tahu menahu soal sahabatnya. Brylian? Bahkan Lia, teman sekelasku itu bilang, cinta tidak pernah salah.

Brylian berulang kali menghubungiku, entah kenapa, aku takut dia meminta jawaban dariku sementara aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang aku lakukan justru menghubungi Zico.

"Cie rindu juga akhirnya," sapanya.

"Enggak padahal."

"Yah, kirain."

"Zico, kalau kamu ada masalah, kamu lari atau menyelesaikannya meski kamu tahu itu akan membuatmu terluka?"

Zico diam cukup lama. "Aku tahu, ini masalah antara kamu dan Brylian kan?"

Membelalakkan mata?

"Kamu..."

"Za, itu sudah jadi tranding topic di sini. Brylian yang biasanya sama Nando terus jadi banyak diem dan menghindar. Nando yang mulai gelisah. Daripada sama mereka berdua mending kamu sama aku ajalah, ribet!"

"Apa sih, Co? Sepertinya kamu nggak kasih banyak solusi!"

Zico menghela napas. "Mending langsung diselesaikan deh, Za. Sebelum nanti membesar, masalahnya ini juga menyangkut tim. Kalau tidak menyangkut tim, pasti tidak ada masalah bagi yang lain. Tapi ini Rendy, bahkan David sudah mulai ikut campur. Nando belum tahu apa-apa, jadi masih aman, bayangkan kalau Nando tahu? Perang dunia. Seru sih, tapi ya gue mulai mikir gimana tim gue kalau lini belakang sama tengahnya udah nggak sehati."

Mulai berpikir. "Kalaupun Nando tahu, dia juga nggak akan marah-marah banget kalau aku dan Brylian memang benar-benar bisa seperti dulu."

"Salah kamu, Za. Ini lebih rumit dari yang kamu kira."

"Maksudnya?"

"Gue lebih tahu dari lo, Za. Intinya gue tahu semua, dan mending lo segera selesaikan masalah itu sama Brylian tanpa Nando tahu."

"Ya tapi..."

"Anjay, gue hari ini labil banget. Tadi dukung perang dunia sekarang nggak mau ada perang dunia. Agak gesrek keknya gue. Tapi ya, Za. Itulah pokoknya, segera selesaikan. Pamit dulu gue. Mau telepon Mama."

"Oke."

Benar juga kata Zico, jika tidak aku selesaikan segera, bisa jadi masalah ini membesar dan iya bisa jadi masalah ini mempengaruhi tim mereka. Kalau masalah dengan Ernando, entah dia akan marah sekali atau tidak, tapi kurasa juga dia bisa diberi pengertian. Masalahnya lagi pun aku tidak tahu mau jawab apa sama Brylian.

Aku mencoba menghubungi Nando, aku harus mulai berani berbicara, aku harus tunjukan seolah tidak ada apa-apa biar persabatan ini kembali seperti sedia kala, bukan dingin seperti ini.

"Eh, Za, tadi kenapa dimatikan sekarang malah telepon duluan?"

Diam sejenak. "Nggak apa-apa."

"Hemmm. Kamu aneh, Za, Brylian juga aneh. Kita lama loh nggak teleponan bareng, tapi tiap kali ada kesempatan, kalian tuh salah satu pasti ada yang menghindar, kan aneh ya."

"Perasaan kamu saja kali. Kamu juga nggak ada masalah sama Brylian kan?"

Aku ingin mengorek lebih dulu, jika dia merasa ada masalah, mungkin akan lebih baik dia tidak tahu. Tapi kalau memang dia merasa tidak ada masalah, mungkin aku bisa berdiskusi dengannya.

Diam cukup lama. "Kenapa memangnya, Za?"

"Enggak. Kalian jangan ninggalin aku ya?"

"Nggak akan Za. Kenapa harus meninggalkan kalau masih bisa bersama?"

TriangleWo Geschichten leben. Entdecke jetzt