Chapter 82

2.4K 184 53
                                    

Hari ini rasa mengubahku 180°, rasa pun meruntuhkan dinding kokoh yang selama ini aku pertahankan. Pada akhirnya pilihanku ialah mencintai dengan cara menyakiti. Kejam memang, aku akui itu.  Tapi siapa yang tahu, ketika kau menganggap sedang mencintai tanpa menyakiti, berjalan tertawa bersama orang yang kau cintai, tapi diam-diam ada yang sesak dada melihat kebersamaanmu? Tidak ada yang tahu juga.

Mencintai memang beriringan dengan menyakiti, bedanya itu cuma satu, apa yang tersakiti itu ikhlas menerima atau sibuk merasa berduka. Dua hal itu akan selalu berjalan beriringan. Cinta pun sejatinya membahagiakan, bahkan meski kau ada di posisi Brylian, kau bisa bahagia dengan keikhlasan. Jika kau berada di posisiku, itu ialah keberuntungan.

Jadi bagaimanapun, aku mempertahankan rasaku, tetapi enggan melepaskan persahabatanku. Mungkin ada yang bilang, itu tidak mungkin terjadi, tapi kataku itu mungkin.

Waktu, ia akan mengubah segalanya dan Tuhan ialah pengaturnya. Jadi, jalani saja, menyakitkan tapi bukan tak mungkin akan bahagia kemudian. Terkadang memang kita harus sedikit lebih egois.

Hari ini Brylian menghubungiku, katanya esok akan kembali ke Indonesia. Ia ingin bertemu denganku. Meski kemarin aku sudah bertemu di laga penutup melawan Chelsea.

Dan jangan heran kalau Brylian yang menghubungiku. Mengapa? Nando ke mana? Ada, dia hanya sedang berada di musim dingin saja. Entah, sejak kata rindu beserta pelukannya itu, tiba-tiba musim dingin datang.

Aku menunggu Brylian di depan Aston University. Di bangku taman yang cukup sepi, bertemankan kopi hangat di dalam sebuah cup. Cukup Nando yang dingin, kopi jangan.

"Siang," sapa Brylian datang bersama Nando.

"Siang, Bry. Habis latihan capek?" tanyaku. Tadi pagi Brylian sempat bilang ketemu siang ini habis latihan ringan sebelum pulang besok, katanya biar tidak kaku.

Brylian menoleh pada Nando. "Kok tanya ke aku, Sutar nggak ditanya?"

Aku melengos. "Males nanya sama orang yang tiba-tiba dingin, udah nanya nggak ditanya balik."

"Ha ha ha," Brylian tertawa. "Sutar bukan dingin Za, dia tetap orang yang sama, sahabatku, meskipun dia sama kamu. Ya tahulah, dia emang polos-polos gemesin gitu kan. Ha ha ha. Dia canggung sama bingung aja. Ya nggak, Tar?"

Menggeleng. "Sok tahu!"

"Ye, aku tuh tahu segalanya tentang kamu, lebih tahu dari Za," sombongnya.

Ya aku tahu sih, mereka kan lebih sering bersama dibandingkan aku.

"Kita sering mandi bareng tahu!" celetuk Brylian membuatku syok, sangat syok.

"Kamu nggak homo kan, Ndo?" tanyaku khawatir.

Jangan-jangan cinta segitiga ini bukan aku suka Nando, Nando suka aku dan Brylian suk aku. Tapi aku suka Nando, Brylian suka aku, Nando suka Brylian. Siapa tahu aku dijadikan kambing hitam untuk menutupi kekurangannya kan?

"Ya enggaklah, Brylian ngaco nih. Mandi bareng? Kek kamar mandi di Inggris cuma satu!" Nando berseru tak terima dan dia terlihat jijik sendiri.

"Ya waktu kecil kita sering mandi bareng kan?" seru Brylian membuat napasku lega, hanya Nando yang refleks menendang pantat Brylian.

"Udah kepalang jijik aku!" memukuli Brylian.

"Nando, udah ah!" pisahku memegang tangan kanan Nando.

Sambil memegangi kepalanya, Brylian menoleh padaku. "Kok sekarang manggilnya Nando bukan Sutar?"

"Panggilan kesayangan," jawab Nando tanpa canggung lagi.

TriangleWhere stories live. Discover now