Chapter 69

1K 148 30
                                    

Brylian Point of View

"Ayolah, Tar! Keburu Za pergi!" Pekikku pada Nando di belakang sana. Dia sepertinya sengaja menahan langkahnya.

"Iya, kejar, Bry!" Katanya.

Apa dia tidak mau bertemu dengan Za lagi? Kenapa?

"Tar, keknya kita perlu Supriadi buat ngejar Za!" Candaku terus berlari, dan seperti tidak tahu malu. Berteriak di jalanan ramai, di Brimingham.

Nando dan aku terus mengejar, di antara puluhan bule bertubuh besar. Mudah sekali mengenali Za sebab dia begitu mungil di antara orang lain.

Tinggal sekian meter, dengan napas terengah-engah, aku tetap berusaha mengejar Za, hingga dia bisa kuraih.

"Za, please aku nggak mau kehilangan kamu lagi," kataku dan dia tidak peduli.

"Maaf, Papa sudah nunggu," katanya mengibaskan tanganku.

"Di mana Papa kamu? Biar aku ketemu dulu. Sudah lama aku nggak ketemu sama Om Herman."

"Tidak perlu," jawabnya melangkah pergi. "Papa baik-baik saja."

Aku membuntutinya dari belakang, sementara 3 meter di belakangku ada Nando.

"Kita ngomong dulu, Za. Sutar juga ada, pengen ngomong," kataku dan dia tetap melangkah pergi.

Za diam saja, malah langkahnya semakin cepat.

"Aku nggak minta apapun, nggak minta kamu jadi pacarku, Za. Aku cuma minta kamu jadi sahabatku, nggak masalah kamu mau sama Zico, mau sama Supriadi bahkan, lebih sakit kehilangan seorang sahabat dibandingkan kehilangan orang baru yang dicintainya."

Za tetap diam. 

"Nggak masalah nahan sakitnya cinta, asal nggak kehilangan kamu lagi, jauh dari kamu lagi," kataku.

"Bucin!" Gumam Za bisa kudengar.

Sudah jauh-jauh ketemu di Inggris, susah payah mengejar, hanya untuk memperbaiki semuanya tapi dikatain Bucin? Za telah sedikit berubah.

"Oke, terserah mau bilang apa tapi kita perlu bicara!" Pekikku membuat langkahnya terhenti.

Za berbalik, tepat saat Nando berada di sampingku dan berhenti.

"Kalian baik-baik saja tanpa aku, bahkan bisa lolos seleksi Garuda Select. Tanpa aku kalian lebih baik, jadi sudah cukup. Selamat tinggal," katanya kembali melangkah.

Sayangnya dia kalah cepat, tangan kananku menahan tangan kanan Za dan tangan kanan Nando menahan tangan kiri Za.

"Kita perlu bicara!" Tekan kami berdua kompak. 

"Za, aku nggak peduli kamu mau sama Zico, aku cuma mau meluruskan yang belum sempat kita luruskan. Benang indah persahabatan kita yang bisa menjadi hasil sulam yang indah, kenapa jadi kusut?" Kata Nando.

"Iya, apa yang selama ini kita lukis begitu indah tiba-tiba saja luntur. Kita perlu bicara," ucapku.

"Apa lagi yang perlu dibicarakan?" Tanyanya dengan nada yang berusaha tenang.

Kami bertiga diam.

"Mana Om Herman?" Tanya Nando.

Za diam, sementara tangannya masih kami genggam erat. Mungkin kami terlalu takut dia hilang lagi, bahkan meski ponsel kami berdering terus menerus, kami tidak peduli.

"Biarkan aku ketemu Om Herman dulu, minta izin bicara sama kamu."

"Nggak perlu. Aku harus segera kembali, aku bisa ketinggalan kereta," katanya.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang