Chapter 76

846 149 20
                                    

Menatap sibuknya kota Leicester dari kaca jendela kecil di sebelah kamarku, lalu lalang pejalan kaki yang cukup menenangkan menjadi pemandangan, dibanding macetnya kota Surabaya atau kota Jakarta. Ramai lancar, seperti kerinduanku yang ramai lancar ke arahmu. Ah apalah ini, stop jadi budak cinta, mari belajar sungguh-sungguh untuk nantinya membangun Indonesia.

Drettt...

Aku melihat ke arah ponsel bergetar di atas meja, mungkin Brylian, sejak kemarin memang hanya dia yang menghubungiku tanpa pernah berhenti. Aku senang, tapi ketika melihat namanya atau mengingat dia, maka aku ingat perasaanku pada Nando dan bagaimana sungkannya aku pada Brylian. Ah, tapi aku belum yakin juga tentang perasaanku, terkadang aku berpikir tentang Nando, terkadang tentang Brylian, tapi lebih merindukan Nando.

Dreettt...

Getarnya semakin lama, berarti itu panggilan telepon. Dan benar ketika aku dekati, tapi salah ketika aku baca nama yang berkedip di layar ponselku.

Zicooo begitulah nama yang terpampang.

"Heh!"

Bukannya salam, bukannya selamat siang, bukannya good afternoon, malah heh, budaya mana itu telepon tinggal heh? Sepertinya budaya sahabat. Yang benar-benar sahabat pasti begitu, suka nggak sopan, tapi sayang.

"Wa'alaikumsalam."

"Kamu nggak kasian sama Nando ya? Aku mulai kasian tahu."

"Kenapa?"

Pura-pura tidak mengerti, sebab aku masih tak ingin Zico tahu kebenarannya.

"Kasian si Nando ngelihatin Brylian lagi chatting sama kamu," ucapnya sambil tertawa.

"Emang Nando tahu?"

"Tahulah, gila kali. Mereka kemana-mana lengket. Kembar sama Supri juga tahu."

"Hah semuanya tahu? Pasti kamu deh yang ember, Co. Emang nih adminnya hengpong jadul!"

"Enak aja, orang kita lagi kumpul si Brylian sendiri yang bilang di-chat sama kamu. Ah sebenarnya sih udah nebak ya pas kamu minta nomor Brylian aja nggak minta nomornya Nando. Akhirnya kuusilin si Nando," jelasnya.

"Eh, emang ya cowok itu kalai lagi kumpul terus ghibah sama gosip melebihi Mak Beti."

"Enak aja, Mak Beti!"

Aku tertawa  kecil."By the way, usil apa tadi?"

"Co, gue mau..." suara yang tak asing, membuat rinduku meronta.

"Apa lu, Ndo?! Sana lu sana!" Suara Zico di seberang, diikuti suara pintu yang ditutup cukup keras.

"Woy! Apaan dah? Gue mau pinjem gunting!" suara teriakan Nando dan gedoran pintu yang nyaring.

"Ngapain pinjem gunting? Mau lo pakai buat bunuh diri ya? Kek di tipi-tipi, ntar urat nadinya digunting, perutnya ditusuk, eh jangan lah!"

"Eh, somplak! Bunuh diri apaan? Masih  waras  gue!"

"Ah jujur aja, lo pasti mau bunuh diri karena Brylian di-chat si Za tapi elo kagak kan? Ah yakin ini mah! Dosa woy dosa!"

"Kenapa sampai situ sih?!" terdengar sedikit kesal. "Gue pinjam gunting buat Bagus, itu rambut kribonya kecantol di resleting celana, kagak bisa lepas kalau kagak digunting!"

Aku masih mendengarkan teriakan dua orang yang terkadang sedikit samar, terkadang sedikit keras. Sudah sampai Inggris tapi masih tetap sama, teriakan menjadi andalan.

"Eh, Calon suaminya Lucinta Luna! Celana dipakai di kaki bukan di kepala!"

Jujur ini aku bisa tertawa lebar. Ada-ada saja tingkah mereka. Satu pinjam gunting dikira mau bunuh diri. Satu lagi celana dipakai di kepala.

"Ya si Bagus itu, mana tahu gue! Ah bodo ah, lu ribet banget kek Syahrini, timbang mijemin gunting doang pakai maju mundur cantik!"

"Ha ha ha," tawaku benar-benar lepas.

"Paan dah!" gumam Zico. "Sorry, biasalah sini banyak tomcat, gangguin aja bisanya. Eh, sorry juga ya kalau Nando mah nggak ganggu, malah penawar rindu. Hi hi hi."

"Apaan sih, Co?! Btw tadi usilin apa?" sedikit mengalihkan, daripada dia terus-menerus mencecarku dan membuatku jujur padanya. Walaupun sebenarnya dia benar, foto yang tanpa sadar aku genggam erat, aku usap lembut itu foto Nando. Dia tahu tapi aku tidak mau berterus terang padanya, Zico bisa jadi macam admin hengpong jadul soalnya.

"Oh, jadi kemarin habis kamu minta nomornya Brylian, aku tahu kamu nggak kuat buat menghubungi Nando. Pasti kaya ada rasa rindu yang akan pecah, tapi otak membeku, gugup dan lain sebagainya. Kamu juga nggak mau pasti dengan segala sikapmu yang mendadak membuat Nando tahu akan perasaan kamu. Jadi ya kaya jaga banget. Iya kan iya kan? Jangan jawab! Aku tahu kamu akan mengelak, macam tersangka pembunuhan!"

Zico ini dukun apa pemain bola sih? Kok tahu apa yang aku rasakan, apa niatku. Kalau dia emang dukun, daripada capek-capek rebutan bola satu sama 11 pemain lawan, mending dia baca mantra di belakang gawang lawan kan.

Ah tapi harus tetap mengelak.

"Aa..."

"Diem dulu!" cegahnya. "Nah kemarin aku kerjain aja Nando, ya intinya aku bilang sama dia kalau kehidupan itu pasti ada sedihnya, sabar aja. Biar makin sedih dah tuh, campur aduk. Udah aku bilang kaya gitu, eh tiba-tiba cuma Brylian yang kamu hubungin."

"Jangan gitu lah, Co. Aku mau berteman sama mereka, aku mau kok kaya dulu lagi tapi butuh waktu. Dan aku nggak mikirin soal apapun kok, nggak ada perasaan apapun."

"Za, kamu itu harus tahu. Kenyataannya walaupun cuma Brylian yang kamu hubungi. Nando tuh nggak protes apapun, dia diem walaupun raut wajahnya kecewa. Kalau tahun lalu gimana? Baku hantam kan? Brylian juga nggak egois, dia bahkan menawarkan berulang kali nomor kamu ke Nando. Tapi Nando menolak sih. Mereka tuh udah dewasa."

Aku diam.

"Za, Za, udah klasik banget ini ya, kalau nggak mau sakit ya jangan jatuh cinta. Lah bagi aku mah nggak mau sakit ya jangan hidup, simpel kan? Karena mau kita jatuh cinta atau tidak, mau susah atau tidak, sakit dan duka itu pasti ada di setiap masa kehidupan manusia. Yang nggak sakit itu, coba lah baru lahir langsung mati, nggak sakit tuh!"

"Ehh, kok bicaramu kaya gitu sih, Co?"

"Ya bener kan? Udah deh, nggak usah ngelak sama aku, Nando kan?"

Aku diam.

"Diam aku anggap jawaban iya. Kalau kamu nggak berani bilang, biarkan aku yang bantu bilang pelan-pelan sama mereka!"

"Eh enggak! Ini hatiku ya! Aku yang punya jadi biarkan ini jadi urusanku!"

"Terus? Kamu mau jujur sama Nando?"

"Gila kali ah, aku cewek! Ngomong duluan ke cowok bukan prinsipku! Jangan juga bilang aku cewek gede gengsi! Yang bisa menghargai harga diriku hanya aku!"

Zico malah cekikikan, bukannya gimana, balas marah, balas bentak atau gimana kek, malah cekikikan.

"Berarti bener kan kamu sukanya sama Nando! Ha ha ha, udah ketahuan. Sisanya biar aku yang urus."

Iya, secara tidak langsung kalimatku tadi memang seolah mengakui.

"Apaan?!"

"Aku telepon cuma mau memastikan itu. Selamat siang, selamat beraktifitas!"

Klik...

Mati begitu saja sebelum aku sempat melarangnya keras. Dia pasti mau banyak tingkah, jadi admin lambe-lambean yang handal. Tapi sungguh, tidak perlu bersumpah untuk meyakinkan, ini sungguh, aku takut kejadian dulu terulang lagi. Dua orang itu aset Indonesia, kalau mereka harus pecah karena kecintaan terhadap perempuan, selamanya aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Apalagi sampai berlebihan dan lupa tentang kecintaannya terhadap Tuhan pun Negaranya.

Saking takutnya, Zico sampai aku spamchat puluhan, tapi dia malah off mendadak. Tolong kalau ketemu Zico geplak kepalanya pakai sekop pasir. Menyebalkan sekali dia.

Dan hari ini menutup cerita dengan kepanikan, kekhwatiran, kekesalan terhadap mulut jadulnya Zico.

🔻🔺TO BE CONTINUED🔺🔻
YA ALLAH, LAMA YA WKKK
UDAH GITU GARING 😅

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang