Chapter 43

1K 150 18
                                    

Ernando Point of View

Kudengar Za sudah pulang ke rumah kemarin, entah dia sudah menerima surat itu atau belum, tapi sama sekali aku belum menerima balasan. Mungkin masih tertahan di kurir.

Sedikit bercerita, mungkin tagline perusahaan platform jual beli online itu benar, "Jarak boleh memisahkan tapi jangan ada ongkir di antara kita". Kenapa? Karena untuk selembar kertas putih saja butuh beberapa puluh ribu. Untuk sekedar mengatakan, "aku merindukanmu". Terkadang tulisan lebih mahal dari udara, untung udara gratis. Tanah dan air harus bayar soalnya.

"Lo galau terus, Brylian juga, kita yang lihat nggak enak. Biasanya TC itu isinya orang bahagia, orang yang serius memperjuangkan bangsa dan negara, fokus, kali ini ada dua orang yang terkesan malah jadi pengganggu. Kenapa sih, Ndo?" Tanya David Maulana.

Sebagai Kapten, wajar dia menanyakan itu. Dia bertanggungjawab terhadap tim selain Coach Fakhri. Memang dia yang seharusnya mendekati kami lebih lebih lagi, menjaga kondisi tim untuk tetap kondusif.

Menggeleng, berusaha untuk tidak membawa kepentingan pribadi meski akhirnya juga terlihat.

"Masalah cinta kan?"

Menoleh padanya, bagaimana dia tahu tentang itu?

"Beberapa pemain ngomongin itu, ada hubungannya sama sahabat lo, Ndo? Ya kalau gue bisa bantu daripada ntar ketahuan sama Coach Fakhri. Kita datang kemari dengan cita-cita yang sama, bawa Indonesia ke Piala Dunia U-17. Meskipun Coach Fakhri tidak memberikan target, tetapi kan kita tetap harus punya tujuan jelas. Gue nggak mau tim terlalu terganggu aja sih."

"Iya, Capt. Gue ngerti kok, nggak ada apa-apa."

David menghela napas, lantas pergi, tapi Rendy justru masuk bersama dengan Bagas dan Bagus.

Di keluarga U-16 ini, kau mau bercerita akan didengarkan, tidak bercerita tak akan ada yang kepo keterlaluan. Begitulah sahabat, keluarga, dan tim, tak akan aku dapatkan itu di tempat lain.

"Tar, aku penasaran, kowe wingi ngirim surat isine opo? Tenang wae nggo bahasa Jawa, ben Rendy ora ngerti," kata Bagus.
(Tar, aku penasaran, kamu kemarin ngirim surat isinya apa? Tenang aja pakai bahasa Jawa, biar Rendy nggak tahu)

Ternyata tetap ada yang kepo, tapi tidak keterlaluan juga bagiku.

"Kowe ngomong jujur ning Za to? Ngomong sayang?" Timpal Bagas.
(Kamu ngomong jujur ke Za kan? Bilang sayang?)

"Percuma, gue juga masih sedikit ngerti. Berapa bulan juga gue sama kalian, eh, hampir satu tahun. Kalian ngomong Jawa itu dikit-dikit gue ngerti," celetuk Rendy membuatku menatap datar ke arah si kembar.

"Keknya masalah kaya gini nyebarnya cepet ya?" Gumamku. "Apa isinya lambai murah semua?"

Rendy, Bagas dan Bagus saling menatap.

"Kalian itu kelihatan banget kali, Ndo! Semua orang jadi tahu karena kalian cuma diem, yang biasanya menghububgi Za jadi nggak pernah, yang biasanya kemana-mana sama Brylian juga nggak pernah lagi sekarang. Orang bisa tahu karena sikap kalian, bukan karena kita tahu terus diomongin sana sini."

"Nah!" Bagus dan Bagas berseru kompak.

"Brylian sekarang nggak peduli lagi kok sama Za, dia acuh, jadi mungkin ini nggak ada masalah juga buat dia," kataku yang tadinya menahan malah keceplosan.

Mereka bertiga kembali saling memandang.

"Brylian masih peduli sama Za kok," ucap Rendy.

Aku percaya, dia teman kamar Brylian, pasti tahu soal Brylian. Sementara aku sudah beberapa hari tidak berbicara dengannya. Hanya sekilas saja ketika dia acuh tak mau menghubungi Za. Jadi merasa ada yang aneh kalau teman sekamarnya bilang dia masih peduli tetapi tidak mau menghubungi.

TriangleOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz