Chapter 22

1.4K 186 12
                                    

Kembali lagi seperti biasanya, menunggui kedua sahabatku di depan rumah mereka, jika tidak begitu mereka akan sangat lama pakai minyak rambutnya. Biasa rambut mereka banyak gaya, bukan cerminan siswa yang biasanya menjadi idola di sekolah berbudaya. Biasanya yang menjadi idola itu yang sekolah pakai sepatu hitam mengkilap bertali, celana yang pas dan rapi, baju yang membentuk tubuh, potongan cepak khas tentara tetapi tidak separah tentara juga. Uh, bagiku itu idaman. Tapi kedua sahabatku tak perlu semacam itu, mereka akan jadi idola mulai hari ini. Pastikan saja, kudengar dari anak OSIS bakalan ada sambutan besar-besaran buat mereka berdua.

Aku? Jangankan disambut, cuma sekedar mewakili olimpiade saja tidak ada guru yang mendampingi. Apalah aku ini, hanya maju sampai tingkat provinsi, ke nasional gagal karena kendala administrasi dan keterlambatan pendaftaran. Dibandingkan kedua sahabatku jelas tidak ada apa-apanya.

"Sutar, Brylian, udah jam berapa?!" Teriakku dari tengah tengah rumah mereka, di depan rumah Cak Dahlan, pengusaha mie ayam Wonogiri. Orang Wonogiri tapi lebih suka dipanggil Cak, nggak mau dipanggil Mas, terlalu biasanya katanya.

Yang aku bicarakan ternyata bisa panjang umur, Cak Dahlan berkacak pinggang di depan rumahnya sama seperti hari-hari biasa.

"Ini anak ayam pagi-pagi udah berkokok di depan rumah orang! Saya sembelih nih, sembelih nih!" Kata Cak Dahlan sambil mengangkat-angkat golok besarnya yang selalu tergantung di pohon depan rumahnya.

"Yaelah, Cak. Sudah berapa Minggu saya nggak kaya gini? Mengobati rindu, Cak!"

"Rindumu itu, Za! Baik-baik berapa Minggu nggak ada yang teriak-teriak depan rumah, udah syukur juga jadi tetangganya orang berprestasi, eh ada anak ayam yang berisiknya kaya kamu!"

Aku terkekeh. Aku tahu itu candaan dari Cak Dahlan, umurnya masih 27 tahunan, masih sangat muda jadi aku tahu kelasnya dalam bercanda.

"Habis gimana, Cak? Sutar sama Brylian lama amat dah."

"Ya gedor itu jendela kamarnya biar cepetan dikit!"

"Ya nggak efektif, Cak. Saya harus ke rumah Sutar dulu habis itu ke rumah Brylian, iya kalau merekanya nggak lama. Kalau misalkan lama kan masih nunggu lagi, Cak. Tahu kan gimana nggak efektifnya waktu?" Sambil nyengir seolah tidak takut dosa. "Kalau teriak di sini kan semua denger, Cak. Tidak buang-buang waktu untuk berjalan dan menggedor."

Cak Dahlan memicingkan matanya, dia pasti ingin membunuhku saat ini tapi tidak bisa, jelas tidak bisa karena penyokong usaha Cak Dahlan pertama kali adalah Papa. Melihat kegigihan Cak Dahlan waktu itu membuat Papa ingin kerjasama dalam bidang usaha bersamanya, bagi hasil.

"Ya tapi kalau kamu teriak-teriak di sini, orang satu kampung denger, Za!"

"Nggak ada yang protes juga, Cak. Cuma Cak Dahlan," sahutku masih kurang ajar saja sama orang tua.

"Ahh kau ini, Za. Bahhh, berisik kali tiap pagi!" Seru tetangga samping rumah Cak Dahlan, tepat di samping rumah Brylian.

Jadi bisa aku gambarkan kalau rumah Ernando dan rumah Brylian itu terpisah oleh rumah Cak Dahlan dan Bang Ical, orang Medan masih muda tapi sudah botak. Ha ha ha.

"Ah elah, Bang. Backsound terbaik pagi harimu ini, Bang."

"Ahh pusing kepalaku bicara sama kau itu. Sudah sana berangkat ke sekolah! Aku bilangin Om Herman kau ya!" Bang Ical sepertinya cukup emosional pagi ini. Dengan plester di pipi kanannya, aku tahu dia sakit gigi.

Brylian yang sudah keluar dari rumahnya pun tertawa kecil. "Jangan galak-galak sama Za, Bang. Nanti kena azab, kek di TV. He he he."

"Eh, kalian itu nanti kena azab, orang tua kalian kerjain! Awas kalian nanti tertimbun gerobak mie ayam sama ayam-ayamnya yang masih hidup. Nggak takut kalian? Aahhhh aduh," sambil memegangi pipi kanannya. Pasti sakit sekali.

TriangleDove le storie prendono vita. Scoprilo ora