Chapter 36

1K 140 38
                                    

Langit Sidoarjo begitu gelap, begitu sepi, dan terkesan hampa. Burung hantu Papa terlihat murung, sama seperti murungnya aku. Mak Jum sibuk nonton sinetron kesayangannya sementara Cak Husin sibuk bersenandung lagu dangdut di teras rumah bersamaku. Tanpa Papa, Mama, Brylian dan Ernando itu bagaikan Via Vallen nyanyi tanpa Oaoe, mana lengkap?

Tadi aku sudah mencoba menghubungi kedua sahabatku ketika masih ada tulisan online di WhatsApp mereka, tapi tidak mendapat balasan sama sekali, kecuali pesan dari Brylian tentang dia menunggu jawaban dariku. Waktu aku tanya jawaban apa, aku bahkan masih butuh penjelasan, dia tidak menjawab apapun, hanya dibaca saja.

Ernando yang aku tanya apa kabarnya, aku bilang aku merindukan mereka berdua bahkan belum genap satu hari berpisah, biasanya akan menjawab langsung tapi kali ini hanya dibaca juga. Aku mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya antara kami ini? Kemarin tak ada masalah yang berarti, atau bahkan tidak ada masalah sama sekali.

"Sepi ya, Mbak," gumam Cak Husin menghentikan senandungnya. "Biasanya kalau malam suka ada yang ngrecokin."

Aku bahkan lebih kehilangan mereka daripada Cak Husin.

"Kemarin malam kata Mak Jum, Mas Brylian datang kemari, tengah malam malah. Kenapa, Mbak? Sebelum berangkat sudah rindu gitu?"

"Nggak tahu, orang kata Mak Jum ngasih surat terus balik. Tapi tadi pagi pas Za tanya apa maksud suratnya, dia malah bilang nggak kasih surat buat Za. Kan aneh dia mah, Cak."

"Surat? Ini sudah zamannya perempuan jadi pelakor biar bisa nikah, bukan zamannya Siti Nurbaya yang dipaksa nikah, Mbak. Masa' iya zaman begini masih pakai surat. Ha ha ha."

Aku tertawa. Benar juga, banyak perempuan menghalalkan segala cara untuk menikah, padahal masa itu nikah saja harus dipaksa. Ha ha ha. Filosofi ngaco ala Cak Husin ini mah.

"Mana suratnya itu cuma kertas satu lembar yang nggak utuh, Cak. Miskin buku dia pasti. Ha ha ha."

"Masa' iya? Terus isinya apaan, Mbak?"

Aku tidak langsung menjawab tapi malah pergi ke dalam kamar dan mengambil surat itu untuk aku tunjukkan ke Cak Husin. Lagi pula tak ada spesialnya juga surat itu, hanya contekan UAS anak SMA.

Cak Husin mengernyitkan dahi. "Ini Mbak Za nggak tahu artinya?"

"Ya tahu, nggak perlu pakai google translate kan, Cak? Orang cuma bahasa Indonesia."

Cak Husin menepuk dahinya sendiri. "Kalau ada google translate yang bisa menerjemahkan kode-kode percintaan, Mbak Za nggak akan sepolos ini."

"Kenapa pula?" Aku bingung apa yang dimaksud Cak Husin.

"Gini ya, Mbak. Saya mah bukan lulusan sastra bahasa Indonesia, saya juga bukan penulis novel yang banyak diksinya, bukan orator yang banyak retorikanya, tapi saya tahu arti suratnya Mbak Za. Mas Bry minta jawaban nggak?"

"Cak Husin ini dukun beranak kah?"

Heran saja, kok tahu soal Brylian meminta jawaban, memangnya aku sudah bilang pada Cak Husin tadi? Belum kak seingatku?

"Dukun cabul, Mbak!" Dengan wajah kesalnya.

"Astagfirullahaladzim. Ha ha ha. Ntar ditangkap sama Pak Toni tuh, polisi sebelah!"

"Alamak!" Kembali menepuk jidatnya sendiri. "Mbak Za, ini itu surat cinta. Yakin 100% saya!"

Detik jarum jam berhenti, jantung yang berdetak lupa bagaimana caranya berdetak, kelopak mata enggan melaksanakan kedipannya, otak tak mau berpikir, dan dunia terasa enggan berputar. Apa yang barusan aku dengar? Aku tidak salah dengar kan? Kenapa jadi surat cinta?

TriangleWhere stories live. Discover now